JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa pendudukan Gedung DPR/MPR RI oleh mahasiswa pada 18 Mei 1998 merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan.
Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto mundur. Mahasiswa menganggap bahwa rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto harus diakhiri. Rezim Orde Baru dianggap telah menindas rakyat selama 32 tahun.
Masinton Pasaribu, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah salah satu mahasswa yang berunjuk rasa di sana.
Pergerakan mahasiswa menjadi salah satu cara yang bisa digunakan pada era itu lantaran ormas agama maupun pemuda sudah berada di bawah kendali rezim Orde Baru.
(Baca: 21 Mei 1998 Pukul 09.00, Soeharto Resmi "Lengser Keprabon" )
"Yang berani berteriak lantang saat itu hanya mahasiswa. Secara moral dan integritas gerakannya juga direspon baik oleh masyarakat," ujar Masinton saat ditemui di kawasan Thamrin, Selasa (17/5/2016).
Setelah melakukan mimbar di dalam kampus, berkonsolidasi, sampai melakukan unjuk rasa di depan kampus masing-masing, akhirnya mahasiswa menyadari simbol-simbol kekuasaan itu harus diduduki.
Antara Istana Negara atau Gedung DPR/MPR
Dalam sebuah rapat antara beberapa simpul gerakan mahasiswa, ada dua opsi tempat yang menjadi target unjuk rasa, yakni Istana Negara dan gedung DPR/MPR RI.
Sebagian peserta rapat mengusulkan Istana Negara, sebagian lainnya menganggap akan lebih mudah untuk menduduki gedung DPR/MPR RI. Gedung parlemen dianggap lebih mudah diduduki karena semua alat keamanan negara dan militer dikonsentrasikan menjaga Istana Negara.
(Baca: Sehari Sebelum Soeharto Mundur, Dinamika "Ring 1", dan Kegelisahan Kabinet)
Akhirnya, diputuskan pada Senin, 18 Mei 1998, mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Aksi Mahasiswa se-Jabodetabek dan beberapa elemen lain melakukan unjuk rasa besar-besaran untuk menduduki gedung DPR/MPR RI.
Masinton mengaku keputusan untuk mendudukkan gedung DPR/MPR adalah cara yang paling realistis yang bisa dilakukan mahasiswa. Keketuan mahasiswa ketika itu, sebut dia, masih belum cukup untuk menduduki istana yang dibentengi pasukan militer di segala penjuru.
"Masih terekam jelas di bayangan kami saat itu adalah Tragedi Tiananmen di mana protes mahasiswa direpresi militer. Maka yang paling mungkin adalah gedung DPR karena semua alat keamanan negara pasti dikonsentrasikan untuk menjaga Istana," kenang dia.
Ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR RI. Masinton menyimbolkan bahwa gedung DPR itu adalah simbol kedaulatan rakyat, bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan.
"Lagipula kami menganggap legitimasi pemilu tahun 1997 (penetapan kembali Soeharto sebagai Presiden) itu tidak sah. Maka kami duduki gedung DPR itu," ucap dia.
Pendudukan gedung itu berlangsung berhari-hari. Cara ini justri efektif menggerakkan aksi unjuk rasa lainnya di berbagai daerah. Tuntutan mereka semuanya sama yakni menghendaki Soeharto turun tahta.
Cara ampuh sudutkan Soeharto
Aksi unjuk rasa akhirnya membuat pemerintahan Soeharto terpojok. Penguasa Orde Baru selama 32 tahun itu akhirnya menyatakan berhenti sebagai Presiden pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.06.
Masinton mengatakan saat itu pilihan turun ke jalan merupakan cara yang paling tepat untuk menyampaikan tuntutan pergerakan. Hanya dengan turun ke jalan, kata Masinton, menjadi cara yang efektif saat itu untuk menjatuhkan Soeharto. Melawan rezim otoriter Orde Baru saat itu tidak cukup hanya dengan diskusi.
"Turun ke jalan menjadi satu-satunya cara ketika sarana-sarana resmi tidak berhasil, seperti melalui jalur representasi perwakilan di DPR. Maka satu-satunya cara yang paling efektif bagi mahasiswa saat itu untuk menyuarakan tuntutan perubahan adalah di jalanan," ungkap Masinton.