Tragedi Trisakti itu disusul terjadinya kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia pada 13 dan 14 Mei 1998. Harian Kompas pada 18 Mei 1998 memberitakan bahwa kerusuhan yang terjadi di Jakarta saja menyebabkan kerugian fisik hingga Rp 2,5 triliun.
Buntut penembakan Trisakti adalah semakin beraninya mahasiswa melakukan aksi demonstrasi. Hingga pada 18 Mei 1998, mahasiswa mulai masuk ke pelataran halaman DPR dan menduduki kompleks parlemen tersebut.
(Baca: 18 Mei 1998 Jakarta Mencekam, tetapi Mahasiswa Bergerak Kuasai Gedung DPR/MPR)
Pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa menyebabkan tuntutan mundur tidak hanya disampaikan arus bawah. Pada 18 Mei 1998, pimpinan DPR yang diketuai Harmoko pun meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya.
(Baca: 18 Tahun Silam, Ketua DPR/MPR Harmoko Minta Presiden Soeharto Mundur)
Internal pemerintahan pun goyah, terutama setelah Menteri Pariwisawata, Seni, dan Budaya Abdul Latief memilih mundur pada 17 Mei 1998. Menurut sumber Kompas, Abdul Latief mundur karena persoalan keluarga.
Presiden Soeharto sebenarnya juga menyiapkan sejumlah langkah agar transisi kekuasaan berjalan mulus. Salah satunya, rencana pembentukan Kabinet Reformasi. Namun, rencana itu bahkan tidak didukung sejumlah menteri di kabinet.
Kompas memberitakan, 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin), menyatakan tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi atau Kabinet Reformasi. Pernyataan dalam Deklarasi Bappenas itu membuat Soeharto merasa terpukul.
Hingga pada 21 Mei 1998, pada pukul 09.00 WIB, Soeharto mengumumkan sebuah keputusan bersejarah.
Dari credentials room di Istana Merdeka, Soeharto menyatakan mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie yang saat itu menjabat wakil presiden.
Orde Baru yang dibangun Soeharto pun berakhir.