JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan bahwa tidak ada dasar hukum yang melandasi penangkapan orang-orang yang memakai atau menyimpan kaus berlogo palu arit.
Dia menilai, penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh aparat telah menyalahi peraturan perundang-undangan.
"Banyak hal yang salah, cenderung sporadis, tidak ada dasar hukum, dan brutal," kata Alghiffari saat ditemui seusai konferensi pers di kantor YLBHI Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2016).
Menurut Alghiffari, kepolisian sebenarnya kebingungan dalam menentukan landasan hukum atas pemidanaan terhadap mereka yang menyimpan dan memakai kaus berlogo palu arit.
(Baca: Saat Kaus Band Metal Dikira Lambang Palu Arit PKI)
Dia menjelaskan, selama ini, yang dijadikan dasar hukum penangkapan dan penyitaan itu adalah Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966. Mereka yang ditangkap dituduh menyebarkan paham komunisme.
"Tuduhan polisi menyebarkan komunisme kembali ke Tap MPRS 25/1966. Tetapi, itu gagal dipahami kepolisian," katanya.
Menurut penuturan Alghiffari, aturan tersebut telah dikaji ulang dalam Tap MPR Nomor 1 Tahun 2003. (Baca: Kata Kapolri, Penindakan Berbau Komunis agar Tidak Kebablasan)
Pada intinya, Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tetap diberlakukan, tetapi tetap memperhatikan dengan prinsip berkeadilan, hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Selain itu, dia juga menegaskan bahwa tentara tidak berwenang untuk melakukan penangkapan terhadap masyarakat sipil, terlebih terhadap orang yang sedang mempraktikkan kebebasan berekspresi.
"Kami curiga, pelanggaran kebebasan berekspresi menjadi alat untuk menutupi pelanggaran HAM lainnya," katanya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Diponegoro, Muladi, sebelumnya menyatakan bahwa penertiban segala hal yang berkaitan dengan komunisme harus dibatasi.
(Baca: Pakar: Kajian Ilmiah soal Komunisme Tak Bisa Dipidana)
Menurut dia, jika tujuannya untuk pembelajaran dan kajian ilmiah, tak masalah untuk menyinggung paham komunis.
"Pembahasan di kampus atau di mana saja bisa, tetapi tujuannya ke ilmiah. Untuk tujuan ilmiah, tidak bisa dipidana," ujar Muladi.
Namun, pembahasan itu harus dilakukan bersama para pakar yang benar-benar mengerti sejarah PKI dan dampaknya terhadap Indonesia pada saat itu.
Selain itu, kata Muladi, orang-orang yang membahas pun harus memandang obyektif terhadap paham komunis.
(Baca: Buku "The Missing Link G 30 S PKI" Disita dari Toko Swalayan)
"Jadi, tidak terlibat secara emosional dan dengan hipotesis yang jelas, masalah yang jelas, tujuan yang jelas dengan metode ilmiah," kata Muladi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.