HELSINKI, KOMPAS.com - Penutupan Perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD) 2016 yang digelar di Helsinki, Finlandia, Rabu (4/5/2016), mungkin adalah acara yang istimewa, paling tidak untuk orang Indonesia.
Saat itu, semua pasang mata di Finlandia Hall, Helsinki, Rabu (4/5/2016), tertuju pada upacara penyerahan tuan rumah perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia 2017 kepada Indonesia. Hotmangaradja Pandjaitan, Duta Besar dan Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, tampil sebagai penerima mandat tersebut.
Seperti layaknya sebuah seremoni, semua berlangsung formal: serah terima mandat, pernyataan kesanggupan dari Indonesia, sesi foto, serta tepuk tangan meriah dari semua orang yang hadir.
Tak ada yang bisa menyalahkan hal itu. Namun, ada baiknya, penyerahan mandat sebagai tuan rumah kegiatan besar semacam itu sebaiknya dimaknai secara lebih mendalam.
Salah satu alasan sederhana untuk hal itu adalah Indonesia menerima mandat itu langsung dari Republik Finlandia, sebuah negara yang memiliki tingkat kebebasan pers yang tinggi.
Baca juga: Indonesia Jadi Tuan Rumah Hari Kebebasan Pers Dunia 2017
Freedom House menyatakan Finlandia adalah salah satu dari beberapa nagara yang memiliki status bagus dalam hal kebebasan pers. Perdana Menteri Finlandia, Juha Sipila membenarkan hal itu.
Ketika memberikan sambutan dalam acara World Press Freedom Day 2016 di negaranya, Juha mengatakan Finlandia adalah negara pertama yang memiliki aturan untuk menjamin kebebasan setiap orang, termasuk wartawan, untuk mendapatkan informasi puublik.
Baca juga: Belajar dari Finlandia, Negara dengan Pers Paling Bebas
Citra gemilang Finlandia tersebut seharusnya membuat Indonesia gelisah. Bukan karena iri, namun sebaiknya lebih karena kesadaran diri bahwa Indonesia sebenarnya adalah calon tuan rumah yang belum bisa dijadikan contoh yang baik.
Setengah bebas
Untuk menjadi tuan rumah yang baik, Indonesia seharusnya berbenah. Salah satunya adalah memperbaiki komitmen negara untuk menjamin kebebasan pers dan kebebasan ekspresi.
Tahun ini, Freedom House menyematkan status partly free kepada Indonesia. Menurut organisasi tersebut, 41 persen dari semua negara yang diteliti memiliki status yang sama dengan Indonesia. Sementara itu, 46 persen dinyatakan tidak bebas, dan sisanya (13 persen) masuk kategori bebas.
Celakanya, Indonesia bukanlah yang terbaik dari yang terburuk. Dari sekian banyak negara yang 'setengah bebas', Indonesia berada di posisi buncit.
Sebut saja di kawasan Asia Pasifik. Di kawasan tersebut, Indonesia berada di posisi 23 dan masuk kategori 'setengah bebas'.
Negara tetangga Indonesia, Filipina, menempati posisi yang lebih baik, yaitu 21 dalam kategori yang sama.
Hal yang menyedihkan adalah, Indonesia dianggap tidak lebih bebas bila dibandingkan dengan Timor Leste. Negara yang dulu menjadi bagian dari Indonesia itu berada di posisi 16.
Kenyataan ini seharusnya membuat Indonesia sedih. Pemerintah, pers, dan masyarakat seharusnya malu jika harus menjadi tuan rumah saat kondisi tidak menggembirakan.
Indonesia tidak memiliki cerita membanggakan ketika Hari Kebebasan Pers Dunia berlangsung.
Panggung keprihatinan
Pada kenyataannya akan sulit mengubah kondisi kebebasan pers di Indonesia dalam waktu singkat. Satu tahun tidaklah cukup untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah atau kasus kebebasan pers.
Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sedikitnya telah terjadi 12 kasus pembunuhan jurnalis sejak 1996. Delapan dari 12 kasus itu belum terselesaikan.
Delapan kasus pembunuhan jurnalis yang belum terselesaikan itu adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah (Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat), Agus Mulyawan (Asia Press di Timor Timur), Muhammad Jamaluddin (TVRI di Aceh), Ersa Siregar (RCTI di Nangroe Aceh Darussalam), Herliyanto (tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur), Adriansyah Matra’is Wibisono (TV lokal di Merauke, Papua), dan Alfred Mirulewan (tabloid Pelangi, Maluku).
Dukungan aturan perundang-undangan terhadap kebabasan informasi dan pers di Indonesia juga belum terlalu menggembirakan.
AJI menganggap keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik belum memberikan jaminan penuh. Berdasarkan catatan AJI dan Yayasan TIFA yang dibukukan dengan judul “Buku Kumpulan Naskah Penerima Beasiswa Liputan Implementasi UU KIP – Menggedor Pintu, Mendobrak Sekat Informasi”, proses pembukaan informasi publik bukanlah perkara mudah.
Buku itu berisi kisah sembilan jurnalis yang menemui berbagai hambatan ketika mengajukan permohoan pembukaan informasi publik. Jumlah permohonan pembukaan informasi publik akan jauh lebih banyak jika mengikut sertakan permohonan yang diajukan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat.
Baca juga: Di Hari Kebebasan Pers Dunia, UNESCO Desak Semua Negara Buka Akses Informasi Publik
Peristiwa yang lebih menyedihkan terjadi beberapa waktu lalu. Ketika dunia merayakan kebebasan pers, pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta di kantor AJI Yogyakrta dibubarkan oleh aparat. Cerita pelarangan kebebasan informasi dan ekspresi itu hanyalah satu dari sekain banyak cerita serupa yang terjadi sebelumnya.
Tentunya Indonesia tidak akan mengumandangkan cerita-cerita memalukan itu ketika menjadi tuan rumah Hari Kebebasan Pers Dunia pada 2017.
Pemerintah harus menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan kasus dan memperbaiki kondisi kebebasan pers untuk memberikan kesan baik sebagai tuan rumah. Jika tidak, negeri ini akan dipermalukan.
Alih-alih panggung kehormatan, bisa jadi nantinya, hanya sebuah panggung keprihatinan yang kita peroleh.
(F.X. Lilik Dwi M, dosen jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, melaporkan dari Helsinki untuk Kompas.com)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.