JAKARTA, KOMPAS.com - Pencalonan putra Presiden kedua RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tomy Soeharto dan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar berpotensi semakin memperburuk citra partai di mata masyarakat.
Baik Tommy maupun Novanto, keduanya mencalonkan diri sebagai calon ketua umum Partai Golkar untuk pemilihan di Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) 15 Mei 2016 mendatang.
"Kalau terpilih mereka justru akan mendiskreditkan suara Golkar sendiri di pilkada, pileg atau pilpres. Cukup signifikan terhadap persepsi masyarakat terhadap Golkar," ujar Pakar Komunikasi Politik Lely Arrianie saat dihubungi, Rabu (4/5/2016).
Ketua Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Jayabaya Jakarta itu menuturkan, dalam memilih ketua umum partai, harus dipertimbangkan kualitas dan kapasitas seorang kandidat.
(Baca: Tommy Soeharto Ajukan Diri sebagai Caketum Golkar)
Para pemilik hak suara di Munaslub pun diminta untuk mempertimbangkan secara rasional dalam memilih ketua umum baru.
Lely menambahkan, pada periode kepengurusan ini, Partai Golkar harus semakin bijak dalam menentukan figur terbaik yang paling tepat untuk memimpin partai.
Perlu dipertimbangkan untuk memprioritaskan kader yang steril dari cerita negatif di masa lalu, steril dari kontraproduktif dari faksi-faksi dalam tubuh Golkar sendiri, serta bisa diterima semua pihak.
"Semua iohak bukan hanya orang Golkar, tapi juga masyarakat pemilih yang akan memilih Golkar ke depan," imbuh dia.
(Baca: Internal MKD Beda Tafsir soal Ada atau Tidaknya Sanksi Etik Setya Novanto)
Untuk diketahui, Tommy Soeharto dan Setya Novanto mengajukan diri sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar. Namun, pencalonan mereka mengundang polemik. Hal ini tak lepas dari jejak rekam keduanya yang penuh kontroversi.
Tommy sempat divonis bersalah karena merencanakan pembunuhan terhadap Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Juli 2001, kepemilikan senjata api dan amunisi, dan sengaja melarikan diri. Dia mendekam dalam penjara dari tahun 2002 hingga 2006.
Sementara Setya Novanto beberapa bulan lalu ramai diberitakan soal kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden. Setya bersama pengusaha Riza Chalid diduga mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk meminta jatah saham PT. Freeport Indonesia.
(Baca: Jokowi: Tak Apa Saya Dibilang "Koppig", tetapi kalau Sudah Meminta Saham, Tak Bisa!)
Kasus itu kemudian disidang oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pemungutan suara untuk memvonis Novanto pun sudah dilakukan dengan sebagian besar suara menyatakan Setya Novanto bersalah dan pantas diberi sanksi sedang.
Akan tetapi, saat pemungutan suara berlangsung, Novanto mengundurkan diri dari posisi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Akhirnya, kasus itu pun ditutup MKD tanpa ada kejelasan sanksi terhadap Novanto.