JAKARTA, KOMPAS.com - Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, kasus pemerkosaan semakin meningkat. Kasus kekerasan seksual naik menjadi peringkat kedua dari keseluruhan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Bentuk kekerasan seksual tertinggi pada ranah personal adalah pemerkosaan, yakni sebanyak 2.399 kasus. Pelakunya didominasi oleh kaum laki-laki.
Data tersebut diperkuat dengan mencuatnya kasus seorang siswi SMP di Bengkulu berinisial YN (14 tahun) yang diperkosa dan dibunuh dalam perjalanan pulang sekolah.
YN diperkosa oleh 14 orang pelaku yang beberapa di antaranya masih merupakan anak di bawah umur.
Berkah Gamulya dari Sindikat Musik Penghuni Bumi (SIMPONI), sebuah grup musik yang kerap menyuarakan isu perempuan, mengatakan bahwa maraknya kasus pemerkosaan disebabkan oleh adanya budaya patriarki di masyarakat.
Budaya itu cenderung menempatkan posisi sosial kaum laki-laki lebih tinggi dari kaum perempuan.
Sehingga, masyarakat cenderung mewajarkan adanya perilaku pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apa pun. Misalnya, dengan menggoda atau bersiul kepada perempuan di jalan.
"Laki-laki biasanya memiliki pandangan yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Perempuan dan anak bukan objek seksual," kata Berkah saat memberikan keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (3/5/2016).
"Seharusnya setiap orang mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki otoritas terhadap tubuhnya sendiri dan tidak berhak untuk dilecehkan," ujarnya.
Lebih lanjut dia menuturkan, dalam kasus pelecehan seksual sering kali pihak korban (perempuan) yang disalahkan.
Mereka justru dituding menjadi penyebab terjadinya pemerkosaan dengan perilaku dan memakai pakaian yang terbuka.
Oleh karena itu, Berkah meminta pemerintah menerapkan pendidikan seksualitas komprehensif berbasis keadilan jender di sekolah-sekolah.
Menurut Berkah, seharusnya seluruh institusi pendidikan sudah menerapkan pendidikan seksual komprehensif selama 1 jam per minggu.
Hal tersebut penting dilakukan untuk mengubah pandangan laki-laki terhadap perempuan secara bertahap.
Institusi pendidikan harus mengajarkan pelajaran berperspektif keadilan jender, terutama pada siswa laki-laki, agar mereka tidak memiliki pandangan yang menempatkan perempuan sebagai obyek seksual.
"Yang harus dilakukan adalah mendidik laki-laki agar memiliki pandangan yang berbeda terhadap perempuan, bukannya menyuruh anak perempuan mengatur cara berpakaian. Laki-laki harus mengubah perilakunya," kata Berkah.