JAKARTA, KOMPAS.com - Hari buruh sedunia yang diperingati setiap tanggal 1 Mei memiliki sejarah tersendiri. Sempat memasuki masa kelam, namun peringatan hari buruh di Tanah Air semakin hari semakin memenuhi harapan.
'May Day' demikian hari buruh populer disebut, pada awalnya momen untuk mengenang tuntutan buruh Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 untuk mempersingkat jam kerja menjadi delapan jam.
Tuntutan itu dilakukan dengan demonstrasi besar-besaran di The Haymarket, Chicago. Naas, seseorang meletakkan bom di tengah-tengah orasi.
Momen perjuangan itu berubah seketika langsung menjadi momen duka. Delapan buruh tewas akibat peristiwa tersebut.
Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam opini di harian Kompas, 1 Mei 2004, menyebutkan, International Working Men Association di Paris tahun 1889 menetapkan hari itu sebagai hari buruh sedunia.
Asosiasi buruh tersebut merupakan gabungan federasi partai-partai sosialis serta serikat buruh. Lantas, bagaimana awal mula 'May Day' di Tanah Air dirayakan?
Orde Baru
Rezim Orde Baru merupakan masa kelam bagi kemerdekaan buruh. Stigma serikat pekerja adalah komunis membuat kebebasan buruh berserikat serta mengemukakan pendapat di muka umum dibelenggu.
Jenderal Polisi Awaludin Jamin, Menteri Tenaga Kerja saat itu, adalah salah satu tokoh yang sangat mengupayakan agar buruh tidak merayakan harinya setiap 1 Mei. Benar saja. 1 Mei 1967, peringatan May Day di Indonesia dihapus rezim Orde Baru.
Akademisi Surya Tjandra dalam opininya di harian Kompas, 1 Mei 2012 mencatat, ada organisasi buruh yang cukup besar pada era Orde Baru, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Namun, Soeharto membasminya dengan brutal sehingga menimbulkan trauma di kalangan pejuang buruh, bahkan hingga saat ini. Serikat buruh kemudian digiring untuk menjadi lebih berorientasi ekonomis, bukan lagi mempertentangkan kelas.
Dibentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan mengubah diri menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Pemerintah Soeharto kemudian menetapkan tanggal 20 Februari sebagai hari buruh. Sebab, pada tanggal itu tahun 1977, adalah peringatan empat tahun berdirinya FBSI.
FSBI kala itu sangat dekat dengan pemerintah. Organisasi itu juga didanai pemerintah. Hal itu membuat nasib buruh stagnan.
Dalam harian Kompas, 13 Januari 1996, Teten Masduki yang saat itu masih menjabat sebagai juru bicara komisi upah memprotes atas buruh yang tidak pernah diajak serta dalam menentukan upah layak.
"Pemerintah selama ini cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara," ujar Teten.
Reformasi
Titik terang bagi kebebasan buruh muncul usai rezim Soeharto tumbang. Aktivis buruh, mahasiswa, dan kaum miskin kota di-back up beberapa akademisi mulai menggaungkan 1 Mei sebagai hari buruh.
Harian Kompas, 2 Mei 2000 memberitakan, para buruh dibantu mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut 1 Mei menjadi hari buruh di Indonesia sekaligus menetapkan hari itu pula sebagai hari libur nasional.
Kompas mencatat, unjuk rasa itu membuat gerah pengusaha. Sebab, selain dilakukan masif di kota-kota besar di Indonesia, aksi itu digelar satu pekan lamanya.
Bahkan, PT Sony Indonesia sampai mengancam hengkang ke Malaysia jika para pekerja tidak kembali bekerja. Tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Yacob Nuwa Wea menyatakan, 1 Mei tidak akan jadi hari libur nasional.
Alasannya, pemerintah telah menetapkan 15 hari sebagai hari libur nasional. Intinya, berlebihan jika 1 Mei juga ditetapkan sebagai hari libur nasional (Kompas, 24 April 2002).
Meski Soeharto tumbang, Presiden setelahnya, baik Gus Dur maupun Megawati, tidak memberi angin segar apa-apa bagi tuntutan buruh soal 'May Day'.
SBY
Tuntutan buruh soal 1 Mei ditetapkan sebagai hari buruh dan libur nasional baru terwujud pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya 29 April 2013, sekitar setahun sebelum dia habis masa jabatan.
"Ada kado istimewa dari Presiden Yudhoyono, di mana pemerintah akan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal seusai berdialog dengan Presiden SBY di Istana Negara, seperti dikutip harian Kompas, 29 April 2013.
Meski demikian, kaum buruh sempat menaruh ketidakpercayaan kepada rezim SBY. Sebab, sejak periode pertama 2004-2009, SBY selalu 'memunggungi' tuntutan buruh. Bahkan, SBY dianggap mempunyai kebiasaan melakukan lawatan ke luar kota dan luar negeri saat buruh bersorak-sorai menyuarakan tuntutannya.
Sementara, di era Presiden Joko Widodo, kaum buruh seperti berada di tingkat tertinggi. Pada tahun pertama, hari buruh dijadikan momentum oleh Jokowi untuk menelurkan program rumah murah bagi buruh.
Di Semarang, Jokowi melakukan peletakan batu pertama pada dua tower rumah susun khusus untuk pekerja/buruh. Kapasitas rusun itu, yakni 184 unit per tower. Proyek ini adalah bagian dari program sejuta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Adapun tahap pertama akan dibangun 22.810 unit rumah terlebih dahulu.
"Kaum buruh sangat berterima kasih kepada Presiden atas program-programnya untuk buruh," ujar Presiden Konfederasi Serikat Buruh Pekerja Seluruh Indonesia Andi Gani Nena Wea, Minggu 1 Mei 2016.
Meski demikian, pihaknya menuntut tiga hal pada May Day tahun ini. Pertama, mendesak agar pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan lain yang pro buruh. Kedua, meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membebaskan 23 aktivis buruh, 2 pengacara LBH, dan 1 mahasiswa yang disidang karena menolak PP 78.
"Pemerintah harus melindungi aktivis buruh yang sedang memperjuangkan hak-haknya," ujar Andi.