Pada 4 Mei 1886, para buruh kembali menggelar aksi di bundaran lapangan Haymarket. Kali ini skalanya sangat besar.
Demonstrasi yang berlangsung saat itu tidak hanya menuntut soal pemberlakuan delapan jam kerja tapi juga sebagai bentuk protes tindakan represif polisi terhadap buruh.
Demonstrasi berjalan damai pada awalnya. Bahkan beberapa waktu berselang, sebagian demonstran memilih membubarkan diri karena cuaca buruk.
Kaum buruh yang tersisa dalam aksi itu hanya sekitar ratusan orang. Tapi pada saat itu malah datang sekitar 180 polisi yang meminta demonstrasi segera dibubarkan.
Ketika orator terakhir hendak turun dari mimbar, tiba-tiba terjadi satu ledakan bom dari barisan polisi.
Satu orang tewas pada kejadian itu, sementara 70 orang lainnya mengalami luka serius.
Pihak polisi merespons ledakan tersebut dengan menembaki kerumunan buruh yang masih berkumpul. Akibatnya, delapan buruh tewas dan 200 orang buruh mengalami luka-luka.
"Peristiwa The Haymarket Martyr itu yang dikenang sampai sekarang setelah International Working Men's Association dalam sidangnya di Paris tahun 1889 menetapkan hari itu sebagai Hari Buruh Sedunia," ucap Asvi Warman Adam, seperti dikutip dari Harian Kompas edisi 1 mei 2004.
Hari Buruh di Indonesia
Di Indonesia, penetapan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah panjang. Bahkan sempat mengalami perubahan beberapa kali. Hal itu terkait kondisi politik yang berkembang di masa itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja.