Apakah hanya Rp 1 miliar?
Para kandidat ketum Golkar sebelumnya sudah melakukan safari politik ke daerah untuk mengumpulkan dukungan.
Dari dialog di daerah terungkap bahwa ada kandidat yang berjanji akan memberikan Rp 10 miliar kepada setiap DPD tingkat kabupaten/kota bila terpilih menjadi ketum Partai Golkar.
Tawaran sebuah mobil per kabupaten/kota serta logistik lain pun bermunculan.
Kader Golkar yang sejauh ini telah mendeklarasikan diri sebagai calon ketua umum antara lain Ade Komarudin, Indra Bambang Utoyo, Airlangga Hartarto, Setya Novanto, Aziz Syamsudin, Mahyudin, Idrus Marham, dan Priyo Budi Santoso.
Ikrar Nusa Bhakti, profesor riset di Pusat Penelitian Politik LIPI mengatakan, politik uang sudah menjadi "the name of the game" dalam setiap pemilihan ketum Golkar di era reformasi, khususnya sejak pertarungan head-to-head antara Akbar Tandjung dan Jusuf Kalla pada Munas Bali 2004 dan antara Aburizal Bakrie vs Surya Paloh pada Munas Riau 2009.
Bahkan, berdasarkan informasi yang diterima Ikrar dari teman-temannya di Golkar, pada Munas Riau duit yang beredar secara akumulatif mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Jika info itu benar, kata Ikrar, sudah pasti uang sebesar itu tidak seluruhnya berasal dari kocek kandidat.
Dengan kata lain, pasti ada satu atau banyak orang yang "menyumbang" para kandidat itu, yang dalam bahasa Indonesia bisa disebut "cukong", "pengijon", atau agak lembut disebut "tangan-tangan yang tak tampak" (the invisible hands).
Ikrar mengatakan, seperti layaknya pengijon yang membantu para petani atau peladang yang membutuhkan dana, dalam politik bantuan para cukong kepada para bakal calon ketum Golkar itu tentunya tidaklah gratis alias no free lunch.
Para cukong tentunya meminta imbalan balik yang lebih besar lagi dari para politisi yang mendapatkan bantuan itu. Bisnis politik kotor ini dalam terminologi politik dikenal dengan sebutan bribe and kickbacks.
Posisi ketua umum Partai Golkar amatlah strategis karena Golkar adalah kekuatan kedua terbesar di Indonesia setelah PDI Perjuangan (PDI-P).