JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti memprediksi politik uang dalam pemilihan ketua umum di Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar akan tetap terjadi.
Potensi itu semakin besar setelah panitia Munaslub memutuskan tidak akan ada uang saku bagi pengurus daerah yang akan menjadi pemilih dalam Munas nanti.
"Money politic pasti tetap terjadi. Hampir tidak mungkin itu bisa dihilangkan," kata Ikrar saat dihubungi, Kamis (28/4/2016).
Ikrar mengatakan, politik uang seperti sudah menjadi budaya setiap kali Munas Partai Golkar dilaksanakan.
Menurut dia, budaya ini sudah terjadi sejak pertarungan Akbar Tandjung vs Jusuf Kalla di Munas 2004 dan Aburizal Bakrie vs Surya Paloh pada 2009.
"Pertarungan Aburizal vs Surya saja uangnya bisa sampai Rp 1 triliun," ucap Ikrar.
Ikrar mengapresiasi jika panitia Munaslub akan memberikan sanksi tegas bagi calon yang kedapatan melakukan transaksi politik uang dengan pemilik suara.
(Baca: Munaslub Golkar Akan Libatkan BIN, KPK, dan Kepolisian)
Namun, Ikrar pesimistis aturan itu bisa diterapkan. Sebab, sangat sulit untuk membuktikan apakah calon ketua umum melakukan politik uang atau tidak.
"Mau dibuat mekanisme seperti apa juga, tidak ada yang bisa menjamin politik uang tidak akan terjadi," kata dia.
Rapat pleno Partai Golkar, Kamis (28/4/2016) sebelumnya menyepakati untuk meniadakan uang saku bagi para pengurus daerah.
(Baca: Tanpa Uang Saku Peserta, Munas Golkar Diperkirakan Kuras Rp 47 Miliar)
Ketua Steering Committee Munaslub Nurdin Halid menyebutkan bahwa estimasi biaya Munaslub akan mencapai Rp 66,9 miliar dengan asumsi setiap pengurus DPD Provinsi, Kabupaten/Kota diberikan uang saku.
Namun, setelah uang saku yang jumlahnya mencapai sekitar Rp 15 miliar itu ditiadakan, biaya Munaslub menjadi Rp 47 miliar.
Sementara itu, untuk uang transport, telah disepakati bahwa uang tersebut disesuaikan dengan daerah asal peserta.