Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Pak Luhut dan Pak Sintong, Korban 1965 Bukan soal Angka melainkan soal Manusia

Kompas.com - 27/04/2016, 13:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ada ribuan manusia Indonesia tak bersalah (karena tak pernah diadili) dan tak mengerti "dosa"-nya, tetapi harus mengalami siksaan, diskriminasi sosial, keluarga yang tercerai berai, meninggal karena frustrasi, bahkan tewas ditembak (dan Pak Luhut serta Pak Sintong hanya peduli soal angka).

Tentang kepahitan hidup sebagai warga negara dengan cap PKI, penulis Pramoedya Ananta Toer menulis demikian sebagai tanggapan atas tulisan Goenawan Mohamad berjudul "Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer" yang dimuat di majalah Tempo 3-9 April 2000:

"Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar."

Pramoedya dilepaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dengan surat keterangan tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September.

Namun, di luar tahanan, ia tetap terpenjara oleh diskriminasi negara dan masyarakat. Ia masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999.

Tentang mereka yang digelandang dari rumahnya dan tewas ditembak di tengah hutan lalu dikubur secara asal dan bertumpuk, teman saya Lexy Rambadeta, seorang videojurnalis dan sutradara film dokumenter pernah mendokumentasikan penggalian kubur jasad 21 orang di tengah Hutan Situkup, Desa Dempes, Kaliwiro, Wonosobo, Jawa Tengah. Penggalian kubur itu dilakukan pada 16 November 2000.

Dalam video itu dikisahkan, saat tulang belulang korban hendak dimakamkan secara layak, warga desa melakukan protes dan menolak pemakaman. Diskriminasi dan penolakan bahkan terjadi pada tulang belulang mereka yang mati ditembak.

Film dokumenternya bisa disaksikan di bawah ini.

 

Sembilan kejahatan kemanusiaan

Tahun 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pernah membentuk tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966. Komnas meminta keterangan 349 saksi hidup yang terdiri atas korban, pelaku, ataupun saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut.

Komnas menyimpulkan, ada sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. 

Baca: Komnas HAM: Kopkamtib Bertanggung Jawab dalam Peristiwa 1965-1966

Korban 1965 bukan sekadar soal angka berapa yang tewas, melainkan soal kemanusiaan warga negara yang dirampas oleh negaranya sendiri. Yang disebut korban juga bukan sekadar orang perorangan, melainkan juga kita sebagai bangsa yang terbelah. Yang melakukan diskriminasi dan pengebirian atas kemanusiaan juga bukan sekadar orang, melainkan negara.

Pak Luhut dan Pak Sintong, permintaan maaf negara selayaknya tidak didasari oleh kontroversi angka korban, tetapi atas dasar kesadaran tulus pengakuan jujur negara bahwa pernah ada warga negara yang diinjak-injak dan dibunuh kemanusiaannya oleh negara yang seharusnya melindunginya sepanjang waktu pada rentang sejarah kelam itu.

Kita tentu saja menyambut baik simposium nasional yang diprakarsai oleh negara ini. Apa pun bentuk solusi yang akan diambil nanti, ini adalah sebuah langkah maju negara untuk berhadapan dengan masa lalunya yang pahit, juga langkah berani negara untuk berhadapan dengan kejujuran para penyintas.

Kita juga mengapresiasi pernyataan Gubernur Lemhanas Jenderal (Purn) Agus Widjojo yang juga penggagas simposium ini. Ia berulang kali menyatakan bahwa simposium ini tidak dimaksudkan untuk mencari benar-salah, tetapi menempatkan tragedi ini secara jujur dalam semangat rekonsiliasi. Kita ingin berdamai dengan masa lalu.

Dan, kita terperenyak mendengar pernyataan Pak Luhut soal negara yang tak terpikir meminta maaf. Pernyataan itu seperti pisau yang menikam jantung. Ia seolah mengingkari kehidupan, seperti kain yang melilit leher ibu teman saya di kusen pintu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Jokowi: UU Kesehatan Direvisi Untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Jokowi: UU Kesehatan Direvisi Untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Nasional
Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Nasional
Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Nasional
KPK Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli di Rutan

KPK Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli di Rutan

Nasional
Program Makan Siang Gratis Masih Dirumuskan, Gibran: Jumlah Penerima Segera Kami Pastikan

Program Makan Siang Gratis Masih Dirumuskan, Gibran: Jumlah Penerima Segera Kami Pastikan

Nasional
Wapres: Prabowo Lanjutkan Pemerintahan Jokowi, Tak Perlu Transisi

Wapres: Prabowo Lanjutkan Pemerintahan Jokowi, Tak Perlu Transisi

Nasional
Jokowi Disebut Akan Berikan Satyalancana ke Gibran dan Bobby, Istana: Tak Ada Agenda ke Surabaya

Jokowi Disebut Akan Berikan Satyalancana ke Gibran dan Bobby, Istana: Tak Ada Agenda ke Surabaya

Nasional
Takziah ke Rumah Duka, Jokowi Ikut Shalatkan Almarhumah Mooryati Soedibyo

Takziah ke Rumah Duka, Jokowi Ikut Shalatkan Almarhumah Mooryati Soedibyo

Nasional
 Presiden PKS Datangi Nasdem Tower, Disambut Sekjen dan Ketua DPP

Presiden PKS Datangi Nasdem Tower, Disambut Sekjen dan Ketua DPP

Nasional
Gibran: Pelantikan Wapres 6 Bulan Lagi, Saya Ingin ‘Belanja’ Masalah Sebanyak-banyaknya

Gibran: Pelantikan Wapres 6 Bulan Lagi, Saya Ingin ‘Belanja’ Masalah Sebanyak-banyaknya

Nasional
Sambutan Meriah PKB untuk Prabowo

Sambutan Meriah PKB untuk Prabowo

Nasional
Berkelakar, Menkes: Enggak Pernah Lihat Pak Presiden Masuk RS, Berarti Menkesnya Berhasil

Berkelakar, Menkes: Enggak Pernah Lihat Pak Presiden Masuk RS, Berarti Menkesnya Berhasil

Nasional
Pidato Lengkap Prabowo Usai Ditetapkan Jadi Presiden RI Terpilih

Pidato Lengkap Prabowo Usai Ditetapkan Jadi Presiden RI Terpilih

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Apresiasi Prabowo yang Mau Rangkul Semua Pihak

Wapres Ma'ruf Amin Apresiasi Prabowo yang Mau Rangkul Semua Pihak

Nasional
Jokowi: Target Stunting 14 Persen Ambisius, Bukan Hal Mudah

Jokowi: Target Stunting 14 Persen Ambisius, Bukan Hal Mudah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com