Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wijayanto
Dosen

Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES, Jakarta dan sekaligus Kepala Sekolah Demokrasi, LP3ES. Penulis juga Dosen Media dan Demokrasi, FISIP UNDIP, meraih gelar Doktor dalam bidang Media dan Politik dari Universitas Leiden pada tahun 2019.

Kurhaus, Selfie dan Kunjungan Jokowi

Kompas.com - 23/04/2016, 10:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Angin berhembus dingin di pesisir pantai Scheveningen malam itu. Meski musim semi telah tiba, daerah pesisir pantai Belanda itu masih tetap dingin seperti biasa.

Di salah satu sudut pantai, Hotel Kurhaus berdiri dengan megah. Bangunan klasik yang telah berdiri sejak 1884, buah karya dua orang arsitek Jerman Johan Friederich Henkenhaf dan Friederich Ebert, itu memang mempesona.

Pada mulanya, bagian dalam hotel adalah kombinasi antara concert hall dan 120 kamar. Langit-langit nya dilukis oleh seniman Brussels, Van Hoeck, bersama kawan-kawannya. Tak mengherankan jika ia merupakan tempat favorit yang selalu disinggahi Raja-raja dan kepala Negara.

Di Ruang Jakob Pronk, salah satu aula utama hotel itu, pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan masyarakat Indonesia di Belanda dilangsungkan.

Jarum jam telah menunjuk pukul 8 malam  ketika Presiden memasuki ruangan. Memakai kemeja putih dan celana kain warna hitam, kurus dan bersahaja seperti biasa, kehadiran presiden disambut dengan histeria peserta.

Dia tidak langsung bicara di podium, tapi terlebih dahulu turun keliling ke seluruh penjuru ruangan untuk bersalaman dan “selfie” dengan masyarakat. Setelah puas berselfie dan bersalaman, presiden pun kembali ke podium dan mulai berbicara.

Dari pidato yang berlangsung selama sekitar 30 menit itu, terbaca jelas pikiran Presiden. Bahwa dunia yang kita tinggali hari ini adalah sebuah pasar maha luas yang berisi aktivitas transaksi yang melampaui sekat-sekat negara.

Itu adalah kenyataan yang harus diterima. Tak bisa kita hindari. Dan untuk itulah kunjungan ke luar negeri ia lakukan. Untuk meneken perjanjian kerjasama dan membuka sekat-sekat itu. Meminimalisasi birokrasi dan mempercepat proses perijinan. Membuka peluang kerjasama bisnis dengan negara-negara yang dikunjunginya. 

Pikiran ini segera terbaca pada pembukaan pidatonya. “Tiga hari yang lalu saya bertemu dengan Kanselir Markel. Kemarin bertemu dengan PM Menteri Cameron. Tadi bertemu dengan Presiden Uni Eropa, dan juga Raja Belgia. Untuk apa itu kita lakukan?”

Dan karena pasar bebas adalah kenyataan, demikian Presiden, maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya, dengan meningkatkan kemampuan bangsa untuk bersaing. Untuk itu jugalah mengapa kunjungan ke berbagai Negara menjadi relevan.

Lalu dengan antusias Presiden bercerita tentang kunjungannya ke Sillicon Valley untuk belajar tentang industri digital. Betapa dia terkesan saat menyambangi markas Facebook, Plug and Play dan google plex.

Dengan antusiasme yang sama dia bercerita tentang perlunya belajar dari Inggris, yang menurutnya negara dengan industri kreatif paling besar di dunia. Dengan fasih dia menyebut Inggris sebagai tempat di mana para musisi berada, seperti Coldplay, One Direction dan banyak grup musik lainnya.

Selain belajar dari negara lain, Presiden juga menekankan perlunya penataan infrastruktur di dalam negeri. Pemotongan subsidi BBM adalah langkah awal untuk efisiensi. Tiga ratus triliyun rupiah subsidi BBM tiap tahun akan menjadi 3000 triliyun dalam sepuluh tahun. Itu adalah inefsiensi.

Wijayanto Jokowi di Den Haag
Presiden juga berbicara tentang pentingnya membangun tol, lebih banyak jalur kereta api, bandara dan tentu saja memotong birokrasi perijinan jadi seefisien mungkin. Sederhananya jika diringkas: investasi dan pembangunan ekonomi adalah panglima bagi pemerintah hari ini.

Duduk di pinggir, bersama lebih dari 500 peserta lainnya, saya menyimak pidato Presiden sambil membuat kesimpulan kecil-kecil. Entah mengapa benak saya segera melayang ke masa Orde Baru, saat retorika pembangunan ekonomi menjadi dominan pada masa itu.

Tertegun sambil mengamati lautan pengunjung yang sibuk rebutan selfie dengan Jokowi, saya mengerti kalau Presiden kita adalah sosok yg mudah dicintai.

Pembawaannya yang sederhana, dan retorika nya yang lugas seakan menebalkan pesan bahwa dia tak berbeda dari semua pengunjung yang hadir. Dia adalah bagian dari kita semua.

Tapi membaca cerita Orde Baru, saya segera paham bahwa kesalahan yang seringkali dilakukan rezim yang terlalu sibuk membangun adalah jadi abai pada kritik.

Sebagaimana studi yang diuraikan  Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994), kooptasi negara pada masyarakat sipil dan represi rezim pada media semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya kebutuhan rezim untuk membangun serta semakin gemuknya kue ekonomi.

Maka setelah periode bulan madu dengan media dan aktivis pada awal-awal Orde Baru, kita menyaksikan rangkaian represi pada para aktivis dan pembredelan media yang merentang dari 1974 sampai dengan penghujung masa rezim itu jatuh.

Saya khawatir tanda-tanda awal untuk itu sudah mulai terbaca pada pemerintah hari ini. Pada hari yang sama dengan pesta di hotel mewah itu, ratusan demonstran berdiri di luar pagar hotel tanpa boleh masuk.

Mereka adalah para mantan exile yang ingin menyampaikan aspirasi terkait peristiwa 1965. Juga para demonstran yang ingin berdialog terkait Maluku dan Papua. Namun tak ada satu pun dari para mereka mendapat undangan dari kedutaan, dan hanya demonstran yang berusia 60 tahun yang boleh ikut aksi di depan hotel.

Menurut aparat keamanan, demonstran muda dikhawatirkan akan berbuat rusuh. Maka tempat mereka melangsungkan aksi hanya boleh jauh di seberang hotel, dengan penjagaan ketat dari aparat keamanan (BBC, 22 April 2016).

Dan kecenderungan itu kian terbaca dalam sesi tanya jawab usai pidato Presiden pada malam hari itu. Saat moderator diskusi membuka sesi tanya jawab, puluhan tangan teracung untuk memberikan pertanyaan. Mereka adalah masyarakat Indonesia di Belanda, dan sebagian besar adalah mahasiswa.

Saya tahu bahwa para mahasiswa itu datang mewakili teman-teman mereka, dan siap menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan ide cerdas kepada Presiden terkait banyak hal.

Selain pertanyaan mendesak tentang kebutuhan domestik mereka sendiri seperti beasiswa dari pemerintah yang sering terlambat, dana bantuan riset yang minim, yang sangat bisa dimengerti, mereka juga memikirkan banyak hal lain.

Seorang kawan yang peneliti bahasa telah bersiap dengan pertanyannya tentang sikap pemerintah tentang ratusan bahasa yang terancam punah di berbagai pelosok tanah air.

Seorang teman yang belajar ilmu pengobatan ingin mengabarkan kisah tentang penyakit diabetes yang makin mewabah Ende, Nusa Tenggara, yang masih luput dari perhatian pemerintah hinga hari ini.

Seorang kawan dosen ingin mengusulkan penghapusan sistem absensi sidik jari sebagai tolok ukur kinerja dosen, dan menggantinya dengan jumlah artikel ilmiah yang diterbitkan. Dan masih banyak lagi hal lain nya.

Namun teman-teman aktivis ini harus menanggung kecewa dan menelan pertanyaan mereka dalam-dalam. Karena Presiden berpesan agar pertanyaan cukup dibatasi tiga penanya dalam hanya satu sesi tanya jawab saja.

Rumor yang beredar, pemilihan tiga penanya itu bahkan telah dipilih terlebih dahulu oleh panitia, supaya tidak terjadi kecolongan. Konon panitia tak mau peristiwa temu warga di London di mana satu peserta bertanya terkait 65 kembali berulang.

Ada apa ini? Apakah rezim ini benar-benar melihat pertanyan sebagai sesuatu yang sungguh berbahaya? Bukankah “blusukan” untuk menimba aspirasi rakyat adalah kegemaran Presiden kita? Bukankah blusukan ke Belanda kali ini juga punya tujuan yang sama, dan bukan sekedar untuk selfie?

Wijayanto Presiden Jokowi foto bersama mahasiswa Indonesia di Belanda
Dan benak saya segera melayang ke Jakarta, dua tahun lalu. Saat saya bersama dengan teman-teman aktivis berkunjung ke rumah dinas Jokowi yang saat itu masih gubernur Jakarta.

Datang pada masa menjelang pemilihan pesiden, kami berdiskusi panjang lebar untuk satu tujuan: mendorongnya untuk maju dalam Pilpres 2014. Sambil menitipkan pesan tentang visi Indonesia ke depan.

Dialog berlangsung dengan sangat interaktif dan penuh keterbukaan. Kami semua optimis pada pria sederhana ini harapan tentang Indonesia baru bisa kami sematkan.

Namun, harus saya katakan bahwa malam itu saya melihat seorang  Jokowi yang berbeda. Dia tidak tampak seperti seorang yang duduk di samping saya, saat bersama makan soto pada pagi di rumah dinasnya sebagai Gubernur Jakarta dulu.

Jokowi yang saya ingat  saat itu adalah seseorang yang gemar dialog dan bukan monolog. 

Saya tahu bahwa pembredelan media hari ini sudah tidak mungkin dilakukan. Pun demikian dengan aksi represif pada para aktivis. Dan membandingkan Jokowi dengan rezim Orde baru barangkali terlalu berlebihan.

Maka saat riuh peserta satu per satu meninggalkan Kurhaus malam itu, diam-diam saya berharap kekhawatiran saya tidak terbukti. Dalam hati saya masih percaya rezim pemerintahan hari ini tidak akan mengulangi kesalahan Orde Baru.

Bahwa sambil terus memacu pembangunan ekonomi, rezim ini juga akan tetap membuka diri pada kritik. Karena teman-teman mahasiswa pada malam hari itu jelas menginginkan lebih dari sekedar selfie.

Den Haag, 22 April 2016.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com