Tertegun sambil mengamati lautan pengunjung yang sibuk rebutan selfie dengan Jokowi, saya mengerti kalau Presiden kita adalah sosok yg mudah dicintai.
Pembawaannya yang sederhana, dan retorika nya yang lugas seakan menebalkan pesan bahwa dia tak berbeda dari semua pengunjung yang hadir. Dia adalah bagian dari kita semua.
Tapi membaca cerita Orde Baru, saya segera paham bahwa kesalahan yang seringkali dilakukan rezim yang terlalu sibuk membangun adalah jadi abai pada kritik.
Sebagaimana studi yang diuraikan Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre (1994), kooptasi negara pada masyarakat sipil dan represi rezim pada media semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya kebutuhan rezim untuk membangun serta semakin gemuknya kue ekonomi.
Maka setelah periode bulan madu dengan media dan aktivis pada awal-awal Orde Baru, kita menyaksikan rangkaian represi pada para aktivis dan pembredelan media yang merentang dari 1974 sampai dengan penghujung masa rezim itu jatuh.
Saya khawatir tanda-tanda awal untuk itu sudah mulai terbaca pada pemerintah hari ini. Pada hari yang sama dengan pesta di hotel mewah itu, ratusan demonstran berdiri di luar pagar hotel tanpa boleh masuk.
Mereka adalah para mantan exile yang ingin menyampaikan aspirasi terkait peristiwa 1965. Juga para demonstran yang ingin berdialog terkait Maluku dan Papua. Namun tak ada satu pun dari para mereka mendapat undangan dari kedutaan, dan hanya demonstran yang berusia 60 tahun yang boleh ikut aksi di depan hotel.
Menurut aparat keamanan, demonstran muda dikhawatirkan akan berbuat rusuh. Maka tempat mereka melangsungkan aksi hanya boleh jauh di seberang hotel, dengan penjagaan ketat dari aparat keamanan (BBC, 22 April 2016).
Dan kecenderungan itu kian terbaca dalam sesi tanya jawab usai pidato Presiden pada malam hari itu. Saat moderator diskusi membuka sesi tanya jawab, puluhan tangan teracung untuk memberikan pertanyaan. Mereka adalah masyarakat Indonesia di Belanda, dan sebagian besar adalah mahasiswa.
Saya tahu bahwa para mahasiswa itu datang mewakili teman-teman mereka, dan siap menyampaikan pertanyaan-pertanyaan dan ide cerdas kepada Presiden terkait banyak hal.
Selain pertanyaan mendesak tentang kebutuhan domestik mereka sendiri seperti beasiswa dari pemerintah yang sering terlambat, dana bantuan riset yang minim, yang sangat bisa dimengerti, mereka juga memikirkan banyak hal lain.
Seorang kawan yang peneliti bahasa telah bersiap dengan pertanyannya tentang sikap pemerintah tentang ratusan bahasa yang terancam punah di berbagai pelosok tanah air.
Seorang teman yang belajar ilmu pengobatan ingin mengabarkan kisah tentang penyakit diabetes yang makin mewabah Ende, Nusa Tenggara, yang masih luput dari perhatian pemerintah hinga hari ini.
Seorang kawan dosen ingin mengusulkan penghapusan sistem absensi sidik jari sebagai tolok ukur kinerja dosen, dan menggantinya dengan jumlah artikel ilmiah yang diterbitkan. Dan masih banyak lagi hal lain nya.
Namun teman-teman aktivis ini harus menanggung kecewa dan menelan pertanyaan mereka dalam-dalam. Karena Presiden berpesan agar pertanyaan cukup dibatasi tiga penanya dalam hanya satu sesi tanya jawab saja.