Anak muda kritis nan cerdas berusia 24 tahun bernama Tzvetan Todorov itu hijrah dari kampung halamannya di Sofia Bulgaria untuk belajar ke pusat ilmu dan peradaban Eropa yaitu Paris.
Setelah berhasil memperoleh gelar PhD dari Paris University, takdir membawanya menjadi salah satu filsuf, anthropolog, sosiolog, semiotis kritis kondang. Namun, namanya sepertinya kurang santer didengar dalam perbincangan tentang nabi-nabi filsuf Prancis di negeri kita.
Sebagai seorang yang sejak lahir sampai usia mudanya di negara yang menganut sistem komunisme-stalinisme di Bulgaria, Todorov muak dengan berbagai bentuk kontrol, pengawasan, teror dan watak anti-kritik dari rezime komunis yang eksis di negerinya Bulgaria.
Kemuakan Todorov tersebut tercermin dari berbagai esai renungan sosial-politiknya. Salah satunya dalam buku terbarunya yang ia tulis pada tahun 2014 berjudul "The Inner Enemies of Democracy".
Sisi menarik dari gagasan Todorov ketika mempermasalahkan demokrasi dari musuh-musuh di dalam dirinya sendiri. Ia tidak terjebak untuk berpindah keyakinan dengan mengimani pasar bebas dan dogma neoliberalisme ketika membela kebebasan dan hidup bersama.
Suara kebebasan yang dilontarkan oleh Tzvetan Todorov bukanlah suara kebebasan ala para exile intelektual dari rezime Eropa Timur seperti Ayn Rand. Juga bukan seperti para mantan pemikir komunis seperti Arthur Koestler dan Christopher Hitchens yang berpindah bandul meyakini bahwa kebebasan yang bertumpu pada pasar bebas adalah solusi final peradaban manusia.
Bagi Todorov yang sudah kenyang akan pengalaman totalitarianism dan sensitif terhadap berbagai manifestasi dari absolutisme, tendensi absolutisme bukan hanya monopoli kaum stalinis. Kepercayaan tanpa reserve atas doktrin free market democracy juga dapat melahirkan bentuk-bentuk absolutisme baru yang tidak kalah opresifnya dengan totalitarianism rezime stalinis.
Menurut Todorov, karakter pemerintahan demokratik membutuhkan keseimbangan antara tiga hal. Pertama, perlindungan atas hak-hak rakyat dari ancaman dominasi negara maupun kepentingan privat. Kedua, kebebasan tiap-tiap orang untuk menjadi tuan atas dirinya sendiri. Ketiga, terbangunnya aksi kolektif/partisipasi untuk menghasilkan kehidupan yang lebih baik (the idea of progress).
Ketiga hal tersebut harus saling diseimbangkan, ketimpangan dimana satu prinsip lebih kuat daripada yang lain akan memunculkan kondisi tirani/absolutisme.
Absolutisme tersebut dapat muncul dalam bentuk populisme neo-fasistik (mengatasnamakan rakyat), tirani individu/privat (mengedepankan kemerdekaan privat/individu), maupun mesianistik utopis (memajukan progres daripada yang lain).
Seperti halnya yang terjadi dalam rezime totalitarianisme, menurut Todorov sebuah tatanan yang secara institusional demokratik yang hanya mengedepankan kepentingan bisnis/privat di atas yang lain, dapat terjebak pada karakter absolutis dalam corak kekuasaannya.
Ketika kepentingan privat/bisnis menjadi kiblat dalam kehidupan demokrasi, maka baik hak-hak rakyat terutama dalam konteks ekonomi-sosial-budaya terpinggir.
Setiap argumentasi yang mencoba mengedepankan pertimbangan sosial dan kepentingan publik, ditundukkan di bawah kepentingan bisnis.
Apabila partai dalam rezime totaliter berkuasa secara vulgar-absolut mengendalikan kehidupan bersama, maka dalam rezim demokrasi pasar, kepentingan bisnis dan privat secara subtil berkuasa secara absolut menentukan arah kehidupan bernegara.
Dalam kedua tatanan di atas, individu sebagai subyek politik dan warganegara hilang tertelan di bawah kepentingan-kepentingan dominan dalam bendera partai maupun modal.
Refleksi kasus Jakarta
Mengapa kita berpanjang-panjang membicarakan gagasan Todorov di atas? Apa relevansinya refleksi Todorov atas bentuk-bentuk totalitarianisme baru ini dengan keadaan yang tengah berlangsung di negeri kita?
Apakah kita sekarang sedang menghadapi ancaman-ancaman absolutisme baru didalam suasana kelembagaan demokrasi?
Renungan dari Tzvetan Todorov di atas akan menemukan relevansinya apabila kita melihat berbagai produk kebijakan publik akhir-akhir ini misalnya terkait kebijakan reklamasi Pantai Jakarta.
Ketika peruntukan kepentingan bisnis dan pertumbuhan ekonomi lebih dikedepankan, maka konsiderasi sosial demi pemenuhan hak-hak sosial terabaikan.
Tendensi absolutisme tersebut nampak misalnya ketika pemimpin Kota Jakarta kemudian bergantung hanya kepada alasan formal yuridis yakni Keppres No. 52 tahun 1995 tentang reklamasi untuk menjalankan reklamasi Pantai Jakarta.
Sebuah kekeraskepalaan yang mubazir apabila ditilik dalam perspektif demokrasi, mengingat bukankah Keppres tersebut lahir pada era Orde Baru, era dimana kolusi bisnis-politik begitu menggurita.
Hanya mempertimbangkan aspek formal-yuridis tanpa mempertimbangkan aspek kemaslahatan rakyat dengan agenda hak-hak ekosobnya justru memperlihatkan watak koersif dari kebijakan tersebut.
Apalagi kebijakan tersebut diambil tanpa mempertimbangkan baik proses komunikasi demokratis dengan segenap pemangku kepentingan maupun pelibatan rakyat sebagai pihak terdampak kebijakan.
Secara politis pun, ada dua hal yang juga mubazir dalam implementasinya yakni tidak tercipta konsensus politik dan terabaikan pula pemenuhan aspirasi dalam partisipasi rakyat didalamnya.
Kesadaran baru
Kasus reklamasi Pantai Jakarta beserta dengan polemik yang mengikutinya memunculkan kesadaran baru. Pertama, bahwa absolutisme bisa muncul dalam keadaan kelembagaan demokrasi hanya ketika kepentingan privat menjadi pertimbangan utama dalam kebijakan publik dibandingkan pertimbangan sosial dan kebaikan publik.
Kedua, bahwa kritik dan gugatan atas kebijakan tersebut bukanlah manifestasi dari sikap absolut-absolutan dalam menolak kepentingan pasar dan privat dalam realisasi kebijakan.
Kritik dan gugatan atas kebijakan tersebut adala upaya untuk menyeimbangkan tiga elemen kunci dalam corak kekuasaan demokrasi yakni hak dasar rakyat, kemerdekaan individu, peluang kolektif setiap warga untuk hidup lebih baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.