JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan RI Luhut Binsar Pandjaitan ingin melihat kuburan massal korban tragedi 1965. Keinginannya itu didasari pencarian bukti dalam upaya rekonsiliasi.
"Saya malah minta kalau ada alat buktinya, kita ingin minta gali kuburan massalnya," kata Luhut seusai memberi kuliah umum di Depok, Rabu (20/4/2016).
Luhut mengamini bahwa ada konflik horizontal yang terjadi pada 1965. Besarnya konflik tersebut hingga menewaskan sejumlah orang.
Namun, ia menolak jumlah korban tewas disebut hingga ratusan ribu orang.
"Bahwa ada yang meninggal di tahun 1965, yes, tetapi jumlahnya tidak seperti yang disebut-sebutkan sampai 400.000 orang, apalagi jutaan orang," ucap Luhut.
Menurut dia, penggalian itu dibutuhkan sebagai bukti agar rekonsiliasi tidak sebatas wacana. (Baca: Simposium Nasional Tragedi 1965: Sebuah Jalan Menuju Rekonsiliasi)
Sebelumnya, Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 digelar sebagai salah satu upaya menuju rekonsiliasi.
Simposium nasional tersebut diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, Komnas HAM, Dewan Pers, Forum Silaturahmi Anak Bangsa, dan beberapa universitas.
Dalam sinposium tersebut muncul berbagai fakta yang diungkapkan, baik oleh korban, keluarga korban, para pakar, maupun pendamping korban. (Baca: Baca Puisi di Simposium Tragedi 1965, Taufik Ismail Diteriaki "Provokator")
Dari sejumlah testimoni korban, terungkap bahwa teror kepada korban dan keluarga korban masih terus berlangsung hingga saat ini. Selama berpuluh-puluh tahun, korban dan keluarganya terus hidup dalam ketakutan dan perasaan tidak aman.
Selain itu, perlakuan diskriminatif juga kerap diterima oleh korban, baik secara sosial maupun kultural. Akibatnya, hak-hak sebagai warga negara yang seharusnya mereka rasakan tidak bisa dinikmati secara utuh.
(Baca: Soal Peristiwa 1965, Luhut Tegaskan Pemerintah Tak Akan Minta Maaf)
Melalui simposium itu pula, mereka mengajukan tuntutan kepada pemerintah agar hak-hak dasar mereka dipenuhi.