Bahkan, satu di antara 10 responden (atau keluarganya) pernah mengalami mendapat tawaran jasa bantuan untuk pengurusan perkara di pengadilan.
Berdasarkan data Komisi Kejaksaan, sumber daya manusia menjadi salah satu masalah mendasar yang memengaruhi kinerja kejaksaan.
Pada tahun 2015, lembaga ini menerima 812 pengaduan terkait kinerja kejaksaan dan baru 105 yang ditindaklanjuti.
Sementara Badan Pengawasan MA pada tahun 2014, menerima lebih dari 470 pengaduan tentang kinerja badan peradilan.
Hasil pantauan Indonesia Corruption Watch pada semester pertama tahun 2015 mengungkapkan, kinerja penyidikan kasus korupsi mengalami penurunan.
Lembaga kepolisian dinilai memiliki kinerja yang buruk karena hanya sekitar 46 kasus yang disidik lembaga itu, dinaikkan ke penuntutan. Sementara sekitar 51 persen penyidikan yang dilakukan kejaksaan, ditingkatkan ke penuntutan.
Dari Laporan Tahunan MA tahun 2014 diketahui, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki sisa perkara sebanyak 1.256 perkara.
Terkait kasus korupsi, pekerjaan rumah aparat penegak hukum tidak hanya dari segi kuantitas, yaitu untuk segera menyelesaikan banyaknya kasus korupsi. Namun juga dari segi kualitas penyidikan, penuntutan, dan pemberian hukuman.
Kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum berjalan paralel dengan penilaian terhadap kinerja aparat yang terlibat di dalamnya.
Meskipun kerja aparat penegak hukum kini semakin transparan dan terkoordinasi, upaya reformasi tersebut belum dirasa cukup memadai oleh publik. Sebanyak 78 persen responden menyatakan, reformasi pada lembaga kejaksaan belum berhasil.
Sementara publik yang menyatakan reformasi pada aparat hakim belum berhasil jumlahnya lebih besar lagi (81,4 persen).