Reformasi hukum di Indonesia dinilai belum berhasil. Alih-alih semakin mandiri dan berintegritas, sejumlah persoalan krusial seperti mafia peradilan dan korupsi terus terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum negeri ini.
Mentalitas positif dan komitmen teguh menjadi kunci perbaikan yang belum digarap optimal hingga saat ini.
Hingga hari ini, hampir dua dekade sejak reformasi bergulir, kinerja aparat penegak hukum, dalam hal ini adalah kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dinilai belum optimal.
Sejumlah kasus hasil operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ternyata melibatkan aparat penegak hukum, mengindikasikan masih kuatnya mafia peradilan di negeri ini. Sejumlah kasus yang menjerat polisi, jaksa, dan hakim masih terus terjadi.
Kasus terakhir yang melibatkan aparat penegak hukum adalah kasus jaksa Devianti dan Fahri. Keduanya ditangkap pada 11 April lalu karena diduga menerima suap untuk penanganan perkara penyalahgunaan anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Subang, Jawa Barat.
Catatan keterlibatan penegak hukum, baik hakim, jaksa, maupun polisi, bisa panjang jika dirinci. Hal ini semua menguatkan tudingan publik bahwa istilah ”mafia peradilan” memang masih ada dalam institusi peradilan kita.
Masalah bisa timbul mulai dari hadirnya kepentingan pihak tertentu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, lemahnya penerapan aturan hukum, hingga buruknya penegakan hukum oleh aparat.
Dari rangkaian hasil jajak pendapat dan survei tatap muka Litbang Kompas terungkap bahwa mayoritas publik negeri ini menilai aparat penegak hukum di Indonesia belum independen dan bebas dari mafia peradilan.
Hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan, 68,5 persen responden menyatakan aparat kepolisian belum independen dalam menangani suatu kasus.
Sementara itu, sekitar dua pertiga responden menyatakan, jaksa juga belum independen dari pengaruh pihak luar dalam melakukan penuntutan terhadap suatu perkara.
Keyakinan dalam persentase yang sama juga diungkapkan oleh tiga dari lima responden (68,7 persen) yang menilai hakim belum independen dalam memutuskan suatu perkara.
Kinerja aparat
Sejatinya, independensi aparat penegak hukum dipayungi oleh Undang-Undang Dasar. Pasal 24 UUD 1945 Ayat 1 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, saat ini amanat UUD tersebut masih jauh dari harapan. Lembaga peradilan kita hampir tidak pernah independen dari tekanan berbagai kepentingan, antara lain beraroma politik dan uang.
Pengadilan yang semestinya menjadi tempat untuk mencari dan memperoleh keadilan justru kerap berlaku ”tidak adil”.
Sejumlah tahapan beperkara di pengadilan seakan tidak bisa lepas dari incaran para mafia peradilan.
Pemeo bahwa mafia peradilan dilakukan oleh mereka yang mengerti seluk-beluk pengadilan, khususnya aparat penegak hukum, tampaknya masih melekat dalam persepsi publik.
Keyakinan bahwa saat ini masih berlangsung praktik mafia peradilan disuarakan oleh empat dari lima responden (81,7 persen).
Bahkan, satu di antara 10 responden (atau keluarganya) pernah mengalami mendapat tawaran jasa bantuan untuk pengurusan perkara di pengadilan.
Berdasarkan data Komisi Kejaksaan, sumber daya manusia menjadi salah satu masalah mendasar yang memengaruhi kinerja kejaksaan.
Pada tahun 2015, lembaga ini menerima 812 pengaduan terkait kinerja kejaksaan dan baru 105 yang ditindaklanjuti.
Sementara Badan Pengawasan MA pada tahun 2014, menerima lebih dari 470 pengaduan tentang kinerja badan peradilan.
Lembaga kepolisian dinilai memiliki kinerja yang buruk karena hanya sekitar 46 kasus yang disidik lembaga itu, dinaikkan ke penuntutan. Sementara sekitar 51 persen penyidikan yang dilakukan kejaksaan, ditingkatkan ke penuntutan.
Dari Laporan Tahunan MA tahun 2014 diketahui, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memiliki sisa perkara sebanyak 1.256 perkara.
Terkait kasus korupsi, pekerjaan rumah aparat penegak hukum tidak hanya dari segi kuantitas, yaitu untuk segera menyelesaikan banyaknya kasus korupsi. Namun juga dari segi kualitas penyidikan, penuntutan, dan pemberian hukuman.
Kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum berjalan paralel dengan penilaian terhadap kinerja aparat yang terlibat di dalamnya.
Meskipun kerja aparat penegak hukum kini semakin transparan dan terkoordinasi, upaya reformasi tersebut belum dirasa cukup memadai oleh publik. Sebanyak 78 persen responden menyatakan, reformasi pada lembaga kejaksaan belum berhasil.
Sementara publik yang menyatakan reformasi pada aparat hakim belum berhasil jumlahnya lebih besar lagi (81,4 persen).
Mentalitas aparat
Beberapa faktor dinilai menjadi penghambat reformasi pada aparat penegak hukum. Seperti integritas aparat, perekrutan, dan pengawasan. Sebanyak dua dari lima responden (40,6 persen) responden menyatakan, yang menghambat reformasi kejaksaan adalah integritas dan kejujuran jaksa.
Demikian pula soal integritas dan kejujuran hakim, dinilai oleh 42,5 persen responden menghambat reformasi di tubuh kehakiman.
Sementara tiga dari lima responden (63,9 persen) meyakini mental yang buruk sebagai faktor yang dianggap paling menyebabkan aparat hukum melakukan praktik suap.
Sebenarnya, pemerintah tidak tinggal diam dalam menindaklanjuti praktik mafia hukum. Pada akhir tahun 2009, dibentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mempercepat pemberantasan praktik mafia hukum yang semakin mengkhawatirkan. Tugas satgas ini berakhir tahun 2011.
Reformasi pada badan peradilan pun telah dimulai pada tahun 2003 ketika MA meluncurkan cetak biru pembaruan MA, dilanjutkan peluncuran cetak biru tahun 2010-2035.
Terdapat beberapa program dalam reformasi birokrasi seperti transparansi putusan dan manajemen sumber daya manusia demi mewujudkan misi kemandirian, kredibilitas, dan transparansi.
Pada pertengahan tahun 2015, Presiden Joko Widodo meminta reformasi kejaksaan dipercepat. Hal ini untuk meningkatkan kinerja dalam bidang penegakan hukum.
Reformasi dari sektor aparat penegak hukum memang sudah dicanangkan sejak lama, tetapi belum terlihat hasilnya.
Tumpuan dalam menuntaskan kasus hukum kini berada di tangan aparat penegak hukum, baik itu kejaksaan dan kepolisian dalam segi penyidikan dan hakim dalam menjatuhkan vonis.
Prioritas yang juga perlu ditegakkan adalah aspek pengawasan yang bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, dan MA.
Pada akhirnya, reformasi hukum harus dimulai dari perubahan mental aparatnya. Jika integritas aparat penegak hukum baik, independensi peradilan dapat diwujudkan mulai dari perekrutan aparat, kinerja, sampai pengawasan akan berjalan dengan baik.
(Topan Yuniarto/Ida Ayu Grhamtika Saitya/LITBANG KOMPAS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.