Klarifikasi Dian Sastrowardoyo yang disebar di media sosial, Minggu (17/4/2016) melegakan. Meskipun belum dapat dipastikan mendukung, apa yang disampaikan pekerja seni ini dapat dipastikan tidak dalam posisi berhadap-hadapan dengan perjuangan sembilan Kartini dari Pegunungan Kendeng.
Selasa dan Rabu pekan lalu, sembilan "Kartini Kendeng" menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta. Menggambarkan kehidupan mereka yang akan terpasung karena hadirnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng (Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan), sepasang kaki dari sembilan perempuan ini dicor dengan semen.
Kotak kayu menjadi wadah bagi semen ini memasung sembilan pasang kaki "Kartini Kendeng".
Sembilan perempuan petani itu adalah Sukinah, Sutini, Surani, Riem Ambarwati, Ngadinah, Deni Y, Karsupi, Martini, dan Siyem. Mengenakan kebaya, jarik, dan caping, mereka menggedor tembok-tembok kekuasaan yang menurut mereka tuli selama ini.
Sukinah mengungkapkan, aksi di depan Istana Merdeka dilakukan karena saking judegnya (buntu) menghadapi persoalan tanpa didengar. Kepada penguasa yang dipilihnya, Sukinah dan delapan perempuan lainnya hendak bersuara. Sebuah pertaruhan yang bisa saja menambah kecewa.
Tanda bahaya
Memasung sepasang kaki dengan semen di depan Istana Merdeka bukan aksi pertama mereka. Setahun sebelumnya, 6 April 2015, Kartini Kendeng ini juga menggelar aksi di depan Istana Merdeka. Mereka membunyikan lesung dengan alu sebagai tanda bahaya akan datangnya bencana lantaran hadirnya pabrik semen.
Sejak tahun 2013, konflik sosial muncul karena warga terbelah antara mendukung dan menolak kehadiran pabrik semen. Ketentraman hidup warga yang mayoritas petani berubah menjadi saling curiga karena rencana hadirnya pabrik semen berikut pertambangannya.
Pihak Istana bukannya tuli mengetahui rencana aksi "Kartini Kendeng" ini.
Selasa (12/4/2016) pagi, mantan aktivis yang kini menjadi Staf Kepresidenan Teten Masduki menemui Sukinah dan teman-temannya di Kantor Kontras, tempat mereka menginap. Kepada "Kartini Kendeng", Tenten menyebut aksi yang akan dilakukan berbahaya untuk diri mereka.
Mendapati peringatan itu, "Kartini Kendeng" tidak surut. Bahaya untuk diri mereka tidak mengapa dan akan diterima. Mereka berkeyakinan, jika pabrik semen berdiri, bahaya lebih besar akan datang untuk anak-cucu yang mereka lahirkan.
Upaya Teten mencegah aksi perempuan petani yang “lantang” ini di depan Istana Merdeka gagal.
Aksi memasung sepasang kaki sembilan Kartini Kendeng dengan semen dilakukan di tengah teriknya siang. Lagu "Ibu Pertiwi" yang biasa dinyanyikan saat menanam padi dinyanyikan sebagai pemberi kekuatan. Lagu "Segoro Ilang Amise" menyusul kemudian.
Upaya gigih "Kartini Kendeng" dengan aksi mereka di depan Istana Merdeka mendapat tanggapan Istana Kepresidenan. Pernyataan Teten yang menyebut sulit memenuhi permintaan "Kartini Kendeng" diluruskan Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP. Menurutnya, tidak ada harga mati. Presiden Jokowi juga belum sampai pada kesimpulan terkait pabrik semen di Pegunungan Kendeng.
Hari berikutnya, Rabu (13/4/2016) siang, dalam kondisi kesehatan yang menurun, aksi Kartini Kendeng dilanjutkan. Menjelang malam, Teten datang membawa pesan Presiden Jokowi yang akan mengadengakan pertemuan. Pemerintah, menurut Teten, memahami betul permasalahan sedulur-sedulur di Kendeng.
Dimulai dari perempuan
Bersamaan dengan janji agenda pertemuan "Kartini Kendeng" dengan Presiden Jokowi, belenggu semen dilepas dari kaki-kaki sembilan perempuan yang mulai pucat wajahnya. Saat belenggu semen dilepaskan, pelangi yang secara universal dimaknai sebagai tanda harapan membusur sebagai latar belakang.
Harapan itu salah satunya mewujud dalam klarifikasi Dian Sastrowardoyo atas pernyataannya di Jepara, Jawa Tengah. Dian yang datang ke Jepara bersama sutradara Hanung Bramantyo terkait rencana film RA Kartini yang akan diperankannya tidak dalam posisi berseberangan dengan "Kartini Kendeng".
Dian menegaskan prinsipnya menjunjung keseteraan jender dan pemberdayaan perempuan. Prinsip itu dikatakannya selalu diperjuangkan sejak dulu, baik melalui karya seni maupun dalam sikap laku sehari-hari.
Meskipun mengaku kurang paham atas kasus yang diperjuangkan "Kartini Kendeng", prinsip Dian sebagai klarifikasi yang disebar di media sosial dan menjadi viral membuat kasus ini mendapat perhatian yang lebih luas.
Masuknya Dian dalam perjuangan "Kartini Kendeng" di media sosial bisa menggantikan peran para buzzer yang selalu hadir di setiap upaya kampanye sebuah isu karena bayaran.
Oya, di Jepara, Dian juga mengatakan keyakinannya bahwa perubahan itu dimulai dari perempuan.
Seperti keyakinan Dian, begitu juga keyakinan "Kartini Kendeng" akan perubahan. Tanda perubahan itu sedikit kelihatan saat Teten, atas perintah Jokowi, meminta belenggu semen sembilan perempuan petani Kendeng dilepaskan.
Tanda perubahan itu digenggam "Kartini Kendeng" yang menerima bahaya bagi dirinya sendiri untuk mencegah bahaya lebih besar untuk anak dan cucu yang mereka lahirkan. Pertemuan Presiden Jokowi dengan "Kartini Kendeng" akan menentukan sejauh mana tanda perubahan itu menjadi kenyataan.
Bagi pemerintah yang tengah gencar membangun infrastruktur yang rakus akan semen, tidak mudah mengambil keputusan adil atas masalah ini. Jika situasi tidak mudah ini terjadi, mendengarkan suara perempuan tidak ditabukan. Penderitaan kerap "berwajah" perempuan.
Melalui Teten, Presiden Jokowi sudah melakukan. Langkah yang dimaknai sebagai segenggam harapan ini tentu tidak dimaksudkan untuk memupuk kekecewaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.