"Pada Oktober 2015 saat pertemuan di Hotel Ambhara, Pak Amran bawa data lebih komplit, ada judul, nama jalan, nominal dan kodenya. Saya kodenya 1e. PDIP itu 1, e-nya saya tidak tahu. Itu berdasar jumlah kepemilikan kursi di DPR, PDIP nomor 1, Golkar nomor 2 dan seterusnya," ucap Damayanti.
(Baca: "Kicauan" Damayanti Soal Kode dan Daftar Penerima Suap di Komisi V DPR)
Damayanti juga mengaku membaca daftar berisi nama-nama pimpinan dan anggota Komisi V terkait jatah proyek.
"Di situ ada Fary Francis, Michael Wattimena, pimpinan yang saya lihat empat, yang saya baca empat. Anggota yang saya lihat ada Pak Bakri (HM Bakri), Musa (Musa Zainuddin), saya, Budi (Budi Supriyanto), Yoseph Umar Hadi, Sukur Nababan," ucapnya.
Damayanti mengungkapkan, dalam pertemuan ketiga itu ada proses penjatahan kepada masing-masing nama tersebut.
"Untuk nilai merupakan hasil nego antara pimpinan Komisi V dan Kementerian PUPR sehingga masing-masing anggota mendapat jatah maksimal Rp50 miliar, kapoksi maksimal Rp100 miliar, untuk pimpinan saya kurang tahu. Kami diberikan dari kapoksi, kapoksi dari pimpinan. Saya nilaninya Rp41 miliar," ujarDamayanti.
"Pak Amran menyampaikan ke kami bahwa akan ada fee 6 persen dari nilai masing-masing yang sudah diplotkan oleh pimpinan masing-masing, itu dari rekanan. Saya dapat 245.700 dolar Singapura yang sudah diserahkan ke KPK, itu besarnya enam persen dari Rp 41 miliar," jelas Damayanti.
Aksi tutup mulut
Anggota Komisi V DPR Umar Arsal enggan banyak berkomentar mengenai kasus suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menjerat koleganya, Damayanti dan Budi Supriyanto.
Umar beralasan, ada kesepakatan tidak tertulis di antara anggota Komisi V untuk tidak berkomentar terkait kasus tersebut di media massa.
"Kami komisi V kompak untuk diam," kata Umar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/3/2016). (Baca: Anggota Komisi V: Kita Kompak Untuk Diam)
Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan terhadap empat orang tersangka, termasuk anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti.
Keempat orang tersebut ditahan KPK, karena diduga terlibat dalam dugaan suap proyek pembangunan jalan di bawah Kementerian PUPR.
Dalam kasus ini, Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir diduga memberi uang kepada Damayanti, dan dua orang stafnya, Julia dan Dessy, masing-masing 33.000 dollar Singapura.
Ada pun suap yang diberikan kepada Damayanti terkait proyek Jalan Trans-Seram di Maluku yang dikerjakan Kementerian PUPR.
Penyidik KPK kemudian memeriksa sejumlah anggota Komisi V DPR yang diduga mengetahui perkara suap tersebut.
Setelah satu per satu anggota dewan diperiksa, hingga akhirnya KPK menetapkan anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto sebagai tersangka.
Berdasarkan pemeriksaan saksi dan alat bukti, Budi diduga menerima hadiah atau janji dari Abdul Khoir, agar PT WTU dapat pekerjaan di proyek Kementerian PUPR.
Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Budi sempat mengembalikan uang suap yang diterima sebesar 305 ribu dollar Singapura.
Namun, oleh Direktorat Gratifikasi KPK, pengembalian uang tersebut ditolak, karena terkait dengan tindak pidana yang sedang ditangani KPK.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.