JAKARTA, KOMPAS.com – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyambut kedatangan pimpinan dan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat RI di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/4/2016) untuk membahas evaluasi penyelenggaraan Pilkada Serentak 2015 lalu.
Sejumlah permasalahan ditemukan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak, tak terkecuali Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang masih membutuhkan penyempurnaan.
Dalam pertemuan tersebut, hakim konstitusi juga menyampaikan keluhannya soal partisipasi anggota DPR yang minim dalam setiap agenda judicial review. Termasuk judicial review UU Pilkada.
“Kami betul-betul ingin mendengarkan apa pendapat DPR tentang judivial review. Termasuk tentang pilkada. Sayangnya, DPR banyak yang tidak hadir. Kami ingin dengar itu dalam persidangan,” kata Ketua MK Arief Hidayat, Kamis.
(Baca: Istana Tak Mau Revisi UU Pilkada untuk Halangi Calon Independen)
Beberapa anggota Komisi II yang hadir pada pertemuan tersebut sempat menjawab, mereka kerap tak diundang.
Menanggapi hal tersebut, Arief berkomentar, setiap pengujian UU pada pleno pertama, MK selalu mengundang pihak pemerintah dan DPR guna mengetahui latar belakang pembentukan sebuah UU. Undangan tersebut diberikan oleh panitera melalui pimpinan DPR.
Biasanya, kata Arief, jika hanya menyangkut yuridis murni hanya Komisi III yang hadir. Namun, kehadiran Komisi III biasanya didampingi komisi terkait.
“Ini sudah beberapa kali. Ada surat dari Setjen DPR, (tidak bisa hadir karena) bersamaan dengan rapat, reses,” ujar Arief.
(Baca: Jokowi: Revisi UU Pilkada Jangan Sampai Terjebak Perangkap Politik!)
Arief mencontohkan salah satu aturan dalam UU Pilkada yang sempat menjadi bahan perbincangan hangat, yaitu terkait syarat selisih suara untuk mengajukan perkara hasil pilkada dengan batas 0,5 hingga 2 persen. Sesuai dengan aturan pada Pasal 158 UU Pilkada.
Menurutnya, jika saat judicial review aturan tersebut pihak DPR hadir, maka ia meyakini saat ini aturan mengenai syarat selisih suara sudah jelas.
Arief, berpendapat perlu ada aturan lebih rinci untuk aturan tersebut. Setidaknya dapat dituangkan dalam pasal 2, sehingga MK tak dianggap main menafsirkan sendiri.
“Tapi enggak ada yang datang. Kami itu tanya sampai ke professor matematika segala. Makanya sekarang saya mohon, Pasal 158 kalau mau digeser atau enggak digeser, tolong diayat 2 dijelaskan bagaimana,” kata dia.
(Baca: Mendagri Sebut Ada 15 Poin Revisi UU Pilkada)
Sementara itu, jawaban dari para anggota Komisi II pun bersautan. Misalnya, perlu adanya penataan ulang mekanisme internal di DPR hingga memberikan tembusan saat mengirim surat undangan.
Sehingga, undangan dapat langsung ke Komisi. Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman menuturkan, konsultasi DPR dengan MK merupakan hal yang sangat penting.
Adapun, terkait keluhan MK tentang minimnya partisipasi DPR pada judicial review. Ide pembentukan tim khusus judicial review di DPR pun bergulir.
“Saya kira harus ada timnya dari DPR yang untuk bias menjelaskan pemikiran apa alas an DPR membentuk pasal seperti ini,” ujar Rambe.
Ide tersebut juga didukung oleh Anggota Komisi II Sareh Wiyono.
“Kami mengapresiasi. Perlu ada tim judicial review. Nanti tim ini yang akan hadir,” ujar Sareh.