Di sisi lain dapat juga didalami faktor rekam jejak sang kapten pilot, apakah pernah mengalami kecelakaan yang mirip-mirip dengan kejadian di Halim tersebut pada waktu yang lalu.
Masih banyak lagi kemungkinan lainnya, yang pada dasarnya keteloderan pilot adalah penyebab yang paling besar bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang dalam hal take off yang menabrak pesawat lain di runway.
Bila pilot take off tidak melihat ke luar arah runway yang akan dilaluinya, kemungkinan menabrak apa saja di runway menjadi sangat mungkin terjadi. Hal ini bisa terungkap dari wawancara dan data penerbangan serta data yang diperoleh dari black box nantinya.
Mengenai kealpaaan petugas di menara pengawas lalulintas udara di tower, bisa saja yang terjadi adalah bahwa petugas memberikan “clearance” untuk clear for take off pada saat pesawat masih dalam keadaan taxi (menggunakan runway karena Halim tidak memiliki taxiway) dekat ujung landasan sebelum berputar untuk kemudian rolling take off.
Dengan catatan bahwa kebiasaan pilot yang standar adalah berhenti dulu sebelum mulai rolling take off, sehingga menurut perhitungannya pesawat Trans Nusa yang sudah berada dekat tepian runway akan sudah “clear” dari runway.
Namun yang terjadi, kemungkinan besar sang pilot sambil berputar arah, langsung “rolling take off” tanpa menghentikan dulu pesawatnya di ujung runway untuk mulai ancang-ancang dalam melakukan take off.
Dengan demikian maka senggolan tidak dapat dihindarkan karena masih ada yang tersisa dari badan pesawat Trans Nusa yang belum “clear” sama sekali dari runway. Di samping itu, mungkin juga radio frekuensi yang digunakan oleh petugas penarik pesawat Trans Nusa berbeda sehingga komunikasinya tidak terdengar oleh pilot Batik Air.
Itu semua adalah sekedar analisis teknis bahwa tabrakan pesawat bisa saja terjadi di Halim. Tentu saja semua kemungkinan yang diuraikan tersebut memerlukan data pendukung, yang biasanya diperoleh dari hasil investigasi berupa wawancara dan cross-check dengan hasil pembacaan black box.
Bila lebih didalami lagi, maka kondisi Halim yang hanya memiliki satu runway dan tidak memiliki taxiway serta kondisi apron yang sangat sempit, mendapat beban yang luar biasa karena disamping sudah ada 4 skuadron udara dan satu skuadron pemeliharaan serta Paskhasau di sana, masih pula di jejali dengan aneka penerbangan sipil komersial yang konon sudah mencapai angka lebih dari 70 take off landing setiap harinya.
Kecerobohan pengelolaan
Intinya adalah, kecerobohan besar dalam pengelolaan penerbangan sipil komersial di Cengkareng yang menyebabkan amburadulnya International Airport itu, hanya dicarikan solusi yang “gampang” saja yaitu pindahkan muntahannya ke Halim.
Lebih gawat lagi adalah tidak sekedar memindahkan kesemrawutan Cengkareng ke Halim bahkan kemudian menambah ijin rute penerbangan yang akan berangkat dari Halim, karena memang banyak orang berminat untuk lebih senang berangkat dan datang dari dan di Halim dibanding harus ke Cengkareng.
Itulah semua hasil dari nafsu besar mengejar pertumbuhan penumpang dan barang semata tanpa memikirkan secara serius ketersediaan sumber daya manusia penunjang penerbangan dan kesiapan infrastruktur dalam konteks “Aviation Safety”.
Bila tidak dilakukan segera tindakan yang fundamental sifatnya, maka tidak hanya penerbangan di Cengkareng yang berbahaya akan tetapi penerbangan di Halim menjadi jauh lebih berbahaya.
Dalam hal ini sangat dianjurkan bagi siapa saja, bila tidak terlalu penting hindarilah bepergian dengan pesawat terbang, agar frekuensi penerbangan dapat sedikit dikurangi yang secara otomatis akan juga menurunkan sedikit, risiko dari kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.