JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat terorisme Nasir Abbas menilai, pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina perlu waktu dan tidak bisa dilakukan terburu-buru sehingga semua pihak perlu bersabar.
Ia mengatakan, baik pihak Abu Sayyaf maupun pihak yang dimintai tebusan pasti sama-sama saling mencurigai.
"Pihak Abu Sayyaf curiga dijebak, pihak yang mau bayar curiga dikhianati," ujar Nasir saat dihubungi, Selasa (12/4/2016).
Nasir menilai, terkait tenggat waktu yang diberikan Abu Sayyaf untuk menyerahkan uang tebusan bisa saja berubah tergantung proses pendekatan.
Kelompok Abu Sayyaf sebelumnya meminta uang sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp 14,3 miliar sebagai tebusan kepada pemilik kapal.
Menurut dia, kelompok Abu Sayyaf yakin pada akhirnya uang tebusan pasti akan dibayarkan. (baca: "Jika Pemerintah Penuhi Tuntutan Abu Sayyaf, Kelompok Lain Manfaatkan Situasi Serupa")
"Ini masih mencari momen, waktu dan tempat yang cocok untuk proses pertukaran itu," kata dia.
Proses pembebasan, tutur Nasir, bergantung dari langkah pemerintah Filipina yang mengurus segala sesuatunya.
Termasuk jika pemerintah Indonesia mengajak pemerintah Filipina untuk melakukan kerja sama militer, kata dia, tergantung pada kondisi di lapangan.
(baca: Fadli Zon: Jika Diperlukan, Negara Bisa Penuhi Tuntutan Abu Sayyaf)
"Kalau tentara kita bisa, tapi keadaan di lapangan tidak memungkinkan untuk operasi militer, mau apa?" ujarnya.
"Jadi segala sesuatunya tergantung keputusan pihak pemerintah Filipina. Mereka yang lebih tahu kondisi di lapangan. Makanya hal begini kita tidak bisa paksakan untuk buru-buru," tambah mantan anggota Jamaah Islamiyah itu.
Ia mengatakan, untuk saat ini yang harus dipastikan adalah seluruh WNI yang ditawan dalam keadaan baik, aman dan sehat, meski proses pembebasan mereka membutuhkan waktu. (baca: 10 WNI Tak Berada di Lokasi Kontak Senjata Tentara Filipina-Abu Sayyaf)
Hingga hari ini, sudah 17 hari kelompok Abu Sayyaf menyandera 10 WNI. Sepuluh WNI itu merupakan awak kapal tunda Brahma 12 yang dibajak oleh kelompok teror asal Filipina.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, koordinasi dan komunikasi terus dilakukan dengan Pemerintah Filipina.