JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Adat Papua, Yan Pieter Yerangga, memprotes keputusan Partai Keadilan Sejahtera yang memecat Fahri Hamzah dari semua jenjang jabatan kepartaian.
Yan memandang Fahri Hamzah adalah satu dari sedikit anggota DPR yang peduli terhadap persoalan demokratisasi di wilayah Indonesia Timur.
"Hanya seorang Fahri Hamzah yang berani mendampingi kami ketika rakyat Papua tidak boleh berdemokrasi," ujar Yan saat memberikan keterangan pers di kawasan Tebet Timur, Jakarta Selatan, Rabu (6/4/2016).
Dia menjelaskan, saat Dewan Adat Papua mengadakan konferensi pada 2 November 2015 lalu dan dilarang oleh Pemerintah, hanya Fahri Hamzah yang berani datang ke Papua. Fahri pun menjamin konferensi tersebut tetap berlanjut sekaligus membukanya.
(Baca: Ini "Dosa" Fahri Hamzah Menurut PKS)
Menurut Yan, apa yang dilakukan Fahri merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib masyarakat Papua yang hak-hak dasarnya belum dipenuhi oleh pemerintah.
"Beliau memutuskan hadir di tengah rakyat Papua. Itu wujud kepedulian beliau. Saat melakukan konferensi dewan adat, semua orang tidak mau datang hanya Fahri yang datang, membahas hak-hak rakyat Papua yang belum terpenuhi," kata Yan.
Sebelumnya, Fahri Hamzah dipecat dari semua jenjang jabatan di kepartaian. Keputusan itu diambil Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016 lalu berdasarkan rekomendasi dari Badan Penegakan Disiplin Organisasi (BPDO) PKS.
Presiden PKS Sohibul Iman membenarkan pemecatan tersebut.
(Baca: Fahri Hamzah: Saya Tidak Benci Partai, Ini Partai Saya...)
"Majelis Tahkim memutuskan melalui putusan No.02/PUT/MT-PKS/2016 menerima rekomendasi BPDO, yaitu memberhentikan Saudara FH (Fahri Hamzah) dari semua jenjang keanggotaan Partai Keadilan Sejahtera," kata Sohibul.
Sohibul menilai tidak ada perubahan pola komunikasi politik yang dilakukan Fahri.
Bahkan, kata dia, timbul kesan adanya silang pendapat antara Fahri selaku Wakil Ketua DPR dan pimpinan PKS lainnya.
(Baca: Istana Sebut Fahri Hamzah Belum Bisa Diberhentikan dari DPR)
Silang pendapat itu di antaranya terkait wacana kenaikan gaji dan tunjangan anggota dan pimpinan DPR, serta revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
"FH menyebut pihak-pihak yang menolak revisi UU KPK sebagai pihak yang sok pahlawan dan ingin menutupi boroknya. Padahal, di saat yang sama, WKMS (Wakil Ketua Majelis Syuro) dan Presiden PKS telah secara tegas menolak revisi UU KPK," kata Sohibul.
"Silang pendapat yang terbuka antara FH dan pimpinan partai ini tentunya mengundang banyak pertanyaan di publik dan juga dari internal kader PKS," ujar dia.