JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai kasus dugaan suap yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, M Sanusi, sebagai korupsi yang tergolong skala besar.
Dalam kasus tersebut, PT. Agung Podomoro Land (APLN) berupaya memengaruhi kebijakan penyelenggara negara yang berdampak besar pada publik.
"KPK sangat prihatin dan ini kami bisa mengatakan bahwa ini dikategorikan sebagai grand corruption," ujar Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (1/4/2016).
(Baca: Presdir Agung Podomoro Land Dicegah ke Luar Negeri)
Menurut Syarief, para pimpinan KPK saat ini tengah berfokus untuk menyasar korupsi besar yang melibatkan pihak swasta. Syarief mengatakan, kasus suap anggota DPRD ini merupakan contoh di mana korporasi menggunakan uang untuk memengaruhi kebijakan publik.
Syarief mengatakan, proyek besar seperti reklamasi sebenarnya sudah banyak diributkan sejak dulu.
Reklamasi diprotes karena dianggap bertentangan dengan undang-undang lingkungan hidup, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta undang-undang perikanan.
"Bayangkan, bagaimana kalau semua kebijakan publik dibuat bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu," kata Syarief.
(Baca: KPK: Suap untuk Sanusi Terkait Raperda Reklamasi)
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang juga mengatakan hal serupa. Menurut dia, korupsi yang lebih besar terjadi di mana korporasi mampu mengatur regulasi. Menurut dia, hal tersebut perlu segera dihentikan.
"Corporation rules the country banyak terjadi. Perusahaan ngatur pemerintah, R-APBD, undang-undang. Ini harus dihentikan," kata Saut.