JAKARTA, KOMPAS.com - Pembajakan pesawat DC 9 milik Garuda Indonesia mengalami puncak ketegangannya pada 31 Maret 1981, hari ini pada 35 tahun lalu.
Setelah empat hari dibajak lima teroris dari kelompok yang mengaku bernama Komando Jihad, operasi pembebasan pun dilakukan pada Selasa (31/3/1981) dini hari.
Operasi di Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand itu berlangsung singkat, hanya dalam waktu 3 menit.
Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit 1 April 1981, meski operasi berlangsung singkat namun persiapan sudah dilakukan di Jakarta sejak pembajakan itu terjadi.
Operasi baru dilakukan setelah Pemerintah Thailand memberikan izin pasukan komando Indonesia untuk bergerak.
Berdasarkan pengamatan wartawan Kompas di lokasi, tanda-tanda operasi pembebasan tidak terlihat pada Senin (30/3/1981) malam. Kegiatan terlihat seperti hari-hari sebelumnya sejak Woyla tiba di Bandara Don Mueang.
Sebelumnya, pesawat tujuan Jakarta-Medan itu dibajak usai lepas landas setelah transit di Palembang. Pembajak sempat mengarahkan pesawat Woyle ke Penang, Malaysia, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bangkok.
(Baca: 28 Maret 1981, Pesawat Woyla Garuda Indonesia Dibajak)
Sebelum operasi pembebasan, suasana di sekitar pesawat tetap sepi. Senin malam, sekitar pukul 21.00 WIB, sebuah mobil katering mendekat setelah mendapat kode lampu dari pesawat dengan 48 penumpang dan 5 awak tersebut.
Ini merupakan komunikasi yang dilakukan pembajak agar permintaan seperti makanan, minuman, bahan bakar dan kebutuhan lain dapat dipenuhi. Setelah makanan diantar, suasana sekitar pesawat kembali sunyi.
Bergerak dalam senyap
Pergerakan baru terlihat sekitar pukul 02.30, sekitar 400 meter dari pesawat terlihat gerakan pada semak-semak di kegelapan.
Pasukan elite itu bergerak mendekati pesawat dalam formasi dua baris. Mereka bergerak mengendap, dalam gerakan yang teratur.
Terlihat tiga tangga yang juga dibawa, dan segera dikaitkan ke pesawat dari bawah tangga. Dua tangga melekat di masing-masing sayap, satu tangga di bagian belakang.
Dalam sekejap, para pasukan komando itu bergerak masuk ke dalam pesawat. Ada yang masuk dari pintu belakang di bawah pantat pesawat. Ada juga yang masuk dari pintu darurat dekat sayap.
"Tiba-tiba terdengarlah tembakan-tembakan, mungkin dalam waktu dua detik," kata Henk Siesen, warga negara Belanda di dalam pesawat, dikutip dari Harian Kompas.
"Komando itu berteriak: 'Semua penumpang tiarap'. Dan berjatuhanlah sosok-sosok tubuh campur baru berusaha untuk tiarap ke lantai," tutur Henk.
Lalu terdengarlah suara tembakan dalam kabin pesawat yang hanya diterangi dua-tiga lampu. Penumpang yang tiarap dicoba dikeluarkan satu per satu melalui pintu depan.
Namun, ada satu pembajak di antara kerumunan penumpang yang tiarap itu. Pembajak itu berada di kerumunan penumpang yang tiarap sambil membawa granat.
Granat itu malah sempat dilempar, setelah pinnya ditarik. Beruntung, granat tidak meledak dan berhasil diamankan anggota pasukan komando. Pelempar granat itu ditembak mati saat berusaha kabur dari pintu depan.
Dua pembajak lain berusaha kabur dari pesawat. Namun, mereka kemudian ditembak mati.
Keterangan resmi pemerintah menyebut semua pembajak tewas dalam operasi pembebasan. Namun, kemudian diketahui bahwa pimpinan pembajak, Imran bin Muhammad Zein ditangkap. Imran kemudian dihukum mati pada 28 Maret 1983.
Keterangan resmi pemerintah juga menyebut pilot dan seorang pasukan komando luka-luka.
Beberapa hari setelah keterangan pemerintah itu diumumkan, pilot Kapten Herman Rante dan anggota Koppasandha bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi pembebasan.
Baku tembak di dalam kabin menyebabkan badan pesawat Woyla dilubangi sejumlah peluru. Pesawat itu kemudian dibawa ke Indonesia setelah diperbaiki di Thailand.
Adapun 36 orang yang berada 4 hari di pesawat, setelah beberapa penumpang lain dilepaskan pembajak, berhasil diselamatkan.
(Baca juga: 31 Maret 1981, Pembajak Pesawat Woyla Ditaklukkan dalam 3 Menit)
Keberhasilan operasi pembebasan Woyla itu tidak hanya melambungkan karier Sintong Pandjaitan sebagai pemimpin lapangan, tapi juga Letjen LB Moerdani yang saat itu menjabat Kepala Pusat Intelijen Strategis.
Reputasi Koppasandha pun diakui. Bahkan, kini pasukan yang dikenal dengan nama Kopassus tercatat sebagai salah satu satuan elite top dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.