Latar kedua, perkembangan teknologi informasi, saya kira ini yang paling berpengaruh dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, setidaknya di perkotaan. Hal yang patut diperhatikan bukan keberadaan dari teknologi komunikasi dan media massa di dalam kehidupan masyarakat, melainkan lebih pada isi perbincangan yang mereka lakukan.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat kontemporer, termasuk di Indonesia, sangat tergantung pada teknologi informasi, baik sebagai cara baru untuk berkomunikasi maupun dalam kaitannya dengan gaya hidup.
Anak-anak muda, baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta anggota masyarakat dari semua kelas, relatif intensif bersinggungan dengan media massa, termasuk dengan apa yang dikategorisasi sebagai media baru, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Saya mungkin perlu membedakan antara pengaruh media massa dan peran media sosial. Dari sisi teknis bekerjanya, media massa, seperti koran, majalah, televisi, termasuk dalam hal ini website berita, relatif bersifat satu arah.
Meskipun ada beberapa media, seperti radio yang memberi kesempatan interaktif cukup banyak, isi media massa secara umum ditentukan oleh redaksi hingga pemilik.
Sudah barang tentu, seluruh isi media, khususnya bagi media massa swasta, berorientasi profit. Akhirnya, program dibuat cenderung latah, mengikuti selera pasar.
Hal yang ingin saya tekankan dalam hal ini adalah bagaimana media membentuk budaya baru, katakanlah budaya anak muda saat ini. Apa yang dialami oleh Zaskia tidak bisa dilepaskan dari acara yang diikutinya saat itu. Saya kira di sini masalahnya.
Saat ini, kelatahan media cenderung memproduksi berbagai acara yang tidak dapat dikatakan mendidik karena hanya menyentuh sisi humor yang sebenarnya tidak juga lucu. Mungkin, itu lebih tepat memperlihatkan kekonyolan. Namun, karena dilakukan oleh artis, acara jadi "menarik" untuk ditonton.
Media massa dalam masyarakat informasi saat ini adalah agen konstitutif yang sangat berpengaruh dalam membentuk mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang wajar dan mana yang tidak.
Dapat dibayangkan apabila acara seperti itu menjadi bagian dari everyday life anak muda saat ini. Zaskia mungkin mengetahui dengan baik, apa yang diharapkan oleh program acara itu sendiri, atau apa yang diinginkan oleh audiens.
Jadi, dalam habitus acara lucu-lucuan itu, Zaskia mungkin dapat dikatakan tidak bersalah karena situasi menuntut dia untuk ikut menjadi lucu atau konyol. Hanya, materi yang dilontarkannya masuk pada apa yang selama ini tidak pernah dibuat konyol, dalam hal ini ideologi dan simbol negara.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa acara seperti itu baik-baik saja, dan yang masalah hanya substansi yang diperbincangkan. Bagi saya, dalam upaya kita mendidik anak-anak muda secara proporsional, media massa kita harus cerdas dalam mengukur apa saja konsekuensi dari tayangan atau teks yang dihasilkannya.
Terlebih lagi, kesadaran diperlukan bahwa saat ini peran media sangat kuat dalam membentuk gaya hidup, termasuk pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan sosialnya atau sejarah bangsanya.
Zaskia mungkin berada dalam sebuah hiper-realitas yang menganggap bahwa mengolok-olok itu wajar, bahkan terhadap apa yang selama ini dianggap sakral.
Fenomena ini juga bisa dibuktikan dengan melihat bagaimana masyarakat menggunakan dan memahami fungsi media sosial, seperti Facebook, Twitter atau Instagram.