Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqrak Sulhin
Dosen Kriminologi UI

Dosen Tetap Departemen Kriminologi UI, untuk subjek Penologi, Kriminologi Teoritis, dan Kebijakan Kriminal.

Zaskia, Media, dan Ideologi

Kompas.com - 24/03/2016, 11:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Nama Zaskia Gothik tentu tidak asing bagi penikmat dangdut, tetapi terakhir ini dirundung masalah karena dianggap menghina negara sehingga dilaporkan ke polisi.

Ia sendiri telah berkali-kali meminta maaf, tetapi apalah daya, masyarakat cenderung menilai dirinya salah. Apa yang dapat kita pelajari dari kejadian ini?

Dahulu, ketika saya duduk di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, pada saat upacara bendera yang rutin dilaksanakan pada hari Senin pagi, rasanya tidak pernah tidak Pancasila dibacakan karena memang begitu ketentuannya, tetapi memang minus visualisasi dari tiap-tiap sila.

Hanya saja, di setiap ruang kelas, lambang Burung Garuda selalu ada, dan jelas memberi tahu simbol dari tiap-tiap sila Pancasila.

Lantas, mengapa Zaskia lupa dengan itu? Dalam tulisan ini, saya coba memberikan catatan ringkas pada tingkat makrokultural untuk menjawab pertanyaan ini.

Dalam amatan saya, ada beberapa hal yang dapat menjadi latar belakang mengapa sebagian masyarakat kita (tidak hanya Zaskia) sering lupa bahkan tidak tahu dengan sejarah, ideologi, dan simbol-simbol bangsa.

Momen reformasi 1998 saya kira adalah titik baliknya dari sisi politik. Namun, dari sisi kultural, perkembangan teknologi informasi juga semakin menjauhkan masyarakat, khususnya anak-anak muda, dari sejarah dan ideologi.

Sementara itu, dari sisi pendidikan, sekolah (di semua tingkat) belum bisa dikatakan berhasil melakukan sosialisasi yang efektif tentang sejarah, ideologi, dan simbol tersebut.

Latar belakang politik berkenaan dengan beban sejarah. Kuatnya kekuasaan pemerintah pada masa Orde Baru dan terjadinya keterpurukan negara telah menjadi alasan bagi masyarakat untuk segera mendelegitimasi kroni, agensi, atau simbol-simbol Orde Baru.

Upaya ini bahkan menjadi agenda besar politik Indonesia melalui amandemen konstitusi, pemilihan presiden langsung, hingga didirikannya lembaga anti-korupsi. Hanya, upaya ini menurut saya belum dikelola dengan baik.

Delegitimasi seperti turut dilakukan terhadap pendidikan Pancasila dan wawasan kebangsaan yang memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya membentuk hegemoni politik Orde Baru pada masanya.

Padahal, di lain pihak, pendidikan ideologi adalah sesuatu yang diperlukan, terlebih bila bangsa ini telah menegaskan Pancasila sebagai ideologi. Menguatnya intoleransi saya kira tidak lepas dari kurangnya konsensus tentang Pancasila sebagai ideologi negara.

Tentu pendidikan ideologi yang saya maksud tidak bisa lagi disamakan dengan penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sebagaimana diwajibkan pada masa Orde Baru.

Oleh karena saya bukan ahli pendidikan, saya tidak bisa memberikan bayangan tentang bagaimana penataran yang tepat dalam konteks kekinian. Namun, tentu diperlukan model dan strategi yang beradaptasi dengan gaya hidup masyarakat dewasa ini, khususnya anak muda.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah berusaha untuk melakukan revitalisasi wawasan kebangsaan dan ideologi melalui sosialisasi empat pilar kebangsaan. Hanya, belum diketahui, sejauh mana keberhasilan upaya dari lembaga ini.

Latar kedua, perkembangan teknologi informasi, saya kira ini yang paling berpengaruh dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer, setidaknya di perkotaan. Hal yang patut diperhatikan bukan keberadaan dari teknologi komunikasi dan media massa di dalam kehidupan masyarakat, melainkan lebih pada isi perbincangan yang mereka lakukan.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat kontemporer, termasuk di Indonesia, sangat tergantung pada teknologi informasi, baik sebagai cara baru untuk berkomunikasi maupun dalam kaitannya dengan gaya hidup.

Anak-anak muda, baik di perkotaan maupun di perdesaan, serta anggota masyarakat dari semua kelas, relatif intensif bersinggungan dengan media massa, termasuk dengan apa yang dikategorisasi sebagai media baru, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.

Saya mungkin perlu membedakan antara pengaruh media massa dan peran media sosial. Dari sisi teknis bekerjanya, media massa, seperti koran, majalah, televisi, termasuk dalam hal ini website berita, relatif bersifat satu arah.

Meskipun ada beberapa media, seperti radio yang memberi kesempatan interaktif cukup banyak, isi media massa secara umum ditentukan oleh redaksi hingga pemilik.

Sudah barang tentu, seluruh isi media, khususnya bagi media massa swasta, berorientasi profit. Akhirnya, program dibuat cenderung latah, mengikuti selera pasar.

Hal yang ingin saya tekankan dalam hal ini adalah bagaimana media membentuk budaya baru, katakanlah budaya anak muda saat ini. Apa yang dialami oleh Zaskia tidak bisa dilepaskan dari acara yang diikutinya saat itu. Saya kira di sini masalahnya.

Saat ini, kelatahan media cenderung memproduksi berbagai acara yang tidak dapat dikatakan mendidik karena hanya menyentuh sisi humor yang sebenarnya tidak juga lucu. Mungkin, itu lebih tepat memperlihatkan kekonyolan. Namun, karena dilakukan oleh artis, acara jadi "menarik" untuk ditonton.

Media massa dalam masyarakat informasi saat ini adalah agen konstitutif yang sangat berpengaruh dalam membentuk mana yang penting dan mana yang tidak, mana yang wajar dan mana yang tidak.

Dapat dibayangkan apabila acara seperti itu menjadi bagian dari everyday life anak muda saat ini. Zaskia mungkin mengetahui dengan baik, apa yang diharapkan oleh program acara itu sendiri, atau apa yang diinginkan oleh audiens.

Jadi, dalam habitus acara lucu-lucuan itu, Zaskia mungkin dapat dikatakan tidak bersalah karena situasi menuntut dia untuk ikut menjadi lucu atau konyol. Hanya, materi yang dilontarkannya masuk pada apa yang selama ini tidak pernah dibuat konyol, dalam hal ini ideologi dan simbol negara.

Saya tidak sedang mengatakan bahwa acara seperti itu baik-baik saja, dan yang masalah hanya substansi yang diperbincangkan. Bagi saya, dalam upaya kita mendidik anak-anak muda secara proporsional, media massa kita harus cerdas dalam mengukur apa saja konsekuensi dari tayangan atau teks yang dihasilkannya.

Terlebih lagi, kesadaran diperlukan bahwa saat ini peran media sangat kuat dalam membentuk gaya hidup, termasuk pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan sosialnya atau sejarah bangsanya.

Zaskia mungkin berada dalam sebuah hiper-realitas yang menganggap bahwa mengolok-olok itu wajar, bahkan terhadap apa yang selama ini dianggap sakral.

Fenomena ini juga bisa dibuktikan dengan melihat bagaimana masyarakat menggunakan dan memahami fungsi media sosial, seperti Facebook, Twitter atau Instagram.

Saat ini, kita mungkin bisa melihat bagaimana kualitas peradaban kita dari bagaimana perbincangan yang terjadi di media sosial.

Munculnya edaran Kapolri mengenai hate speech saya kira adalah bukti bagaimana media sosial, yang sejatinya wadah ekspresi yang produktif, justru dipahami dan dipergunakan secara destruktif oleh sebagian orang.

Dua kekuatan ini saya kira telah membentuk bagaimana persepsi kita tentang kehidupan, juga terhadap bangsa ini. Di media sosial, tidak hanya mengolok-olok, sebagian pengguna juga melakukan kekerasan simbolis terhadap yang lain atau melakukan cyber bullying.

Bahkan, isi dari tweet atau posting-an di Facebook justru menebar fitnah dan kebencian terhadap kelompok tertentu, terutama kelompok minoritas atau marjinal.

Terakhir, saya melihat bahwa kasus Zaskia ini juga dapat dilihat sebagai belum berhasilnya dunia pendidikan kita di dalam membentuk karakter yang bisa menghargai, tidak hanya orang lain, tetapi juga bangsa dan negara ini.

Tantangan dunia pendidikan menjadi semakin berat bila dikaitkan dengan latar belakang kedua. Media justru menjadi kekuatan yang mendelegitimasi apa saja yang menjadi "normal" atau "harus" dalam dunia pendidikan.

Menurut saya, untuk menghindari kasus-kasus serupa, upaya bersama pun diperlukan. Zaskia dan artis-artis muda saat ini adalah generasi yang hidup dan berkembang dalam kultur populer dan dekonstruktif terhadap apa yang selama ini dianggap normal oleh masyarakat.

Oleh karenanya, diperlukan media yang sadar dan proporsional (tidak hanya mengikuti selera pasar) dan dunia pendidikan formal yang kreatif dan adaptif dengan perkembangan masyarakat.

Walau demikian, setiap individu pun perlu cerdas, quick thinking, dan tidak asal, terlebih bila ia seorang figur publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama di Pilkada DKI, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama di Pilkada DKI, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasional
KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

Nasional
Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Nasional
Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com