Saat ini, kita mungkin bisa melihat bagaimana kualitas peradaban kita dari bagaimana perbincangan yang terjadi di media sosial.
Munculnya edaran Kapolri mengenai hate speech saya kira adalah bukti bagaimana media sosial, yang sejatinya wadah ekspresi yang produktif, justru dipahami dan dipergunakan secara destruktif oleh sebagian orang.
Dua kekuatan ini saya kira telah membentuk bagaimana persepsi kita tentang kehidupan, juga terhadap bangsa ini. Di media sosial, tidak hanya mengolok-olok, sebagian pengguna juga melakukan kekerasan simbolis terhadap yang lain atau melakukan cyber bullying.
Bahkan, isi dari tweet atau posting-an di Facebook justru menebar fitnah dan kebencian terhadap kelompok tertentu, terutama kelompok minoritas atau marjinal.
Terakhir, saya melihat bahwa kasus Zaskia ini juga dapat dilihat sebagai belum berhasilnya dunia pendidikan kita di dalam membentuk karakter yang bisa menghargai, tidak hanya orang lain, tetapi juga bangsa dan negara ini.
Tantangan dunia pendidikan menjadi semakin berat bila dikaitkan dengan latar belakang kedua. Media justru menjadi kekuatan yang mendelegitimasi apa saja yang menjadi "normal" atau "harus" dalam dunia pendidikan.
Menurut saya, untuk menghindari kasus-kasus serupa, upaya bersama pun diperlukan. Zaskia dan artis-artis muda saat ini adalah generasi yang hidup dan berkembang dalam kultur populer dan dekonstruktif terhadap apa yang selama ini dianggap normal oleh masyarakat.
Oleh karenanya, diperlukan media yang sadar dan proporsional (tidak hanya mengikuti selera pasar) dan dunia pendidikan formal yang kreatif dan adaptif dengan perkembangan masyarakat.
Walau demikian, setiap individu pun perlu cerdas, quick thinking, dan tidak asal, terlebih bila ia seorang figur publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.