Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 23/03/2016, 08:11 WIB
|
EditorSabrina Asril
JAKARTA, KOMPAS.com - Ribuan sopir taksi konvensional yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) dan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelenggara Angkutan Umum (FK-MPAU) melakukan demonstrasi besar-besaran di Jakarta, Selasa (22/3/2016).

Mereka menuntut penutupan perusahaan penyedia jasa transportasi online yang masih bebas beroperasi. Para sopir juga meminta Kemenkominfo untuk membekukan operasi perusahaan angkutan yang menggunakan kendaraan berpelat hitam, seperti Uber dan Grab.

Unjuk rasa tersebut menimbulkan kemacetan di beberapa titik di Jakarta. Sayangnya, demonstrasi tersebut harus diwarnai dengan sejumlah aksi kekerasan yang menjalar menjadi aksi saling serang antara pengemudi taksi dengan pengendara Go-Jek.

(Baca: Mereka yang Gagap Menghadapi Perubahan)

Ironis rasanya melihat antar sopir yang sama-sama bekerja menafkahi keluarganya itu saling menyerang. Mereka tak lagi melihat bahwa kepentingan yang mereka bawa sebenarnya sama, yakni berjuang untuk perut mereka dan keluarga. Tak ada yang lain.

Ketimpangan pendapatan rupanya menjadi pemicu yang cukup kuat untuk meledakkan emosi para sopir taksi konvensional. Pemerintah diminta bersikap, tidak bisa lagi membiarkan masalah ini mengambang yang semakin membuat para sopir menjerit.

Perkembangan teknologi dan konsep sharing economy yang kini mulai menjangkiti generasi milenial tidak bisa lagi dielakan. Namun, tetap saja perkembangan zaman ini membutuhkan regulasi yang mampu mencerminkan kondisi terkini.

Segera revisi UU dan batas tarif

Peneliti kebijakan dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Muhammad Faiz Aziz, menyayangkan terjadinya demonstrasi yang dilakukan oleh supir taksi konvensional tersebut.

Menurut Faiz, pemerintah harus segera mengambil tindakan dengan membuat regulasi yang dapat mengikat perusahaan aplikasi transportasi, penyedia jasa angkutan berbasis aplikasi, dan konsumen.

(Baca: Polisi Tetapkan Satu Tersangka Terkait Aksi "Sweeping" Transportasi)

Langkah yang bisa diambil adalah segera merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Revisi itu harus memasukan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi dalam regulasi.

"Pemerintah seharusnya mengatur transportasi berbasis aplikasi. Kalau tidak akan selalu terjadi pertemuan konflik antardua kepentingan," ujar Faiz ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (22/3/2016).

Faiz menjelaskan, selama ini pemerintah belum bisa mengakomodasi konflik kepentingan antarpenyedia jasa, supir taksi dan pengguna layanan. Konflik tersebut terjadi karena tidak adanya pembatasan mengenai penerapan tarif yang jelas.

Perusahaan taksi konvensional berkeberatan dengan penerapan tarif taksi berbasis online yang relatif murah. Mereka menginginkan pengaturan tarif yang adil. Sedangkan konsumen menginginkan tarif yang murah dan fasilitas yang nyaman serta aman.

"Pemerintah harus membuat peraturan yang seimbang untuk mengakomodasi seluruh kepentingan tersebut," kata dia.

Faiz menambahkan, pemerintah juga harus memperhatikan adanya dugaan praktik jual rugi atau predatory pricing yang selama ini dialamatkan pada perusahaan jasa angkutan berbasis online. Jika tidak diatur, maka hal itu akan menimbulkan monopoli.

(Baca: Dua Solusi Ini Dapat Dilakukan Pemerintah untuk Atasi Polemik Taksi "Online")

Predatory pricing merupakan praktik yang dilarang, di mana sebuah perusahaan akan menerapkan harga semurah mungkin agar kompetitor lain tidak mampu bersaing dan terlempar dari pasar.

Setelah itu, secara perlahan perusahaan akan memonopoli pasar dan menaikan harga.

"Ada semacam dugaan penerapan jual rugi atau predatory pricing yang bisa membuat perusahaan taksi konvensional gulung tikar. Praktik seperti ini dilarang dalam pasal 20 UU Nomor 5 Tahun 1990," kata Faiz.

Ia pun mengusulkan, selain membuat peraturan hukum, Pemerintah juga harus menerapkan tarif batas bawah, seperti yang pernah dilakukan Menteri Perhubungan dengan menentukan tarif batas bawah di sektor penerbangan untuk kelas ekonomi.

"Peristiwa ini seharusnya kembali menjadi momentum bagi pemerintah untuk melihat lebih dalam lagi untuk serius membenahi kerangka hukum untuk memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi sehingga kontroversi semacam ini tidak terulang kembali," pungkasnya.

Pemerintah belum temukan solusi

Pemerintah bukannya tidak sadar akan persoalan yang terjadi. Diskusi yang alot antara Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tak kunjung membuahkan hasil.

Demikian pula pertemuan antara Rudiantara dengan perwakilan demonstran yang tak menempukan kata sepakat. Rudiantara menolak memblokir aplikasi, yang bukan menjadi wewenangnya.

Rapat pun ditingkatkan ke level Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan di bawah kendali Luhut Binsar Pandjaitan.

Luhut menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar jajaran kementerian mengedepankan aspek keadilan dalam menyelesaikan polemik taksi online ini.

Setelah rapat yang cukup lama, lagi-lagi tak ada solusi yang dihasilkan. Luhut menyadari bahwa demonstrasi hebat kemarin dipicu adanya ketidakadilan yang terjadi antara taksi konvensional dengan taksi yang berbasis aplikasi.

Luhut mencontohkan, bentuk ketidakadilan yang dimaksud ialah soal pajak dan izin. Angkutan konvensional dan angkutan berbasis aplikasi seharusnya sama-sama bayar pajak dan mempunyai izin.

"Kalau saya bayar pajak, kamu juga harus bayar. Kalau kamu terdaftar, saya juga harus terdaftar. Kalau kamu punya izin, saya harus punya izin juga," ujar Luhut.

Solusi pun diserahkan kembali kepada Jonan dan Rudiantara yang akan kembali bertemu hari ini. Akankah pertemuan itu membuahkan hasil?

Semua pihak berharap demikian. Sehingga, tak ada lagi kerugian yang terjadi pada taksi konvensional, penyedia jasa berbasis aplikasi, dan terutama masyarakat yang membutuhkan layanan transportasi yang baik.

Kompas TV Menanti Solusi Angkutan Berbasis Aplikasi


Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Prima dan KPU Akui Tak Ada Mediasi, Jubir PN Jakpus: 'No Comment'

Prima dan KPU Akui Tak Ada Mediasi, Jubir PN Jakpus: "No Comment"

Nasional
Tak Ada Anggaran Santunan Korban Gagal Ginjal, Menko PMK: Diupayakan Pakai Dana yang Lain

Tak Ada Anggaran Santunan Korban Gagal Ginjal, Menko PMK: Diupayakan Pakai Dana yang Lain

Nasional
Hakim MK Guntur Hamzah Disanksi Ringan, Penegakan Kode Etik Dipertanyakan

Hakim MK Guntur Hamzah Disanksi Ringan, Penegakan Kode Etik Dipertanyakan

Nasional
Sanksi Buat Hakim MK Guntur Hamzah Dinilai Kurang Sepadan

Sanksi Buat Hakim MK Guntur Hamzah Dinilai Kurang Sepadan

Nasional
Didiuga Terima Gratifikasi Puluhan Miliar, LHKPN Hakim Agung Gazalba Saleh Cuma Rp 7,8 M

Didiuga Terima Gratifikasi Puluhan Miliar, LHKPN Hakim Agung Gazalba Saleh Cuma Rp 7,8 M

Nasional
Didatangi Anies Malam-malam, Presiden PKS Teken MoU Koalisi Perubahan

Didatangi Anies Malam-malam, Presiden PKS Teken MoU Koalisi Perubahan

Nasional
Singgung Rombongan Moge Dikawal Masuk Tol, Kapolri Minta Jajaran Selektif Beri Pengawalan

Singgung Rombongan Moge Dikawal Masuk Tol, Kapolri Minta Jajaran Selektif Beri Pengawalan

Nasional
Di Balik Pengesahan Perppu Cipta Kerja: Mikrofon Demokrat Mati, PKS 'Walkout', hingga Terima Kasih Pemerintah

Di Balik Pengesahan Perppu Cipta Kerja: Mikrofon Demokrat Mati, PKS "Walkout", hingga Terima Kasih Pemerintah

Nasional
DPR Minta Jokowi Berhentikan Gazalba Saleh, MA Bicara Soal Aturan UU

DPR Minta Jokowi Berhentikan Gazalba Saleh, MA Bicara Soal Aturan UU

Nasional
Protes Perppu Ciptaker, BEM UI Buat Meme 'DPR Rumahnya Tikus'

Protes Perppu Ciptaker, BEM UI Buat Meme "DPR Rumahnya Tikus"

Nasional
KPK: Lukas Enembe Mogok Minum Obat, tapi Cuma 2 Hari

KPK: Lukas Enembe Mogok Minum Obat, tapi Cuma 2 Hari

Nasional
ASN Dilarang Buka Puasa Bersama, Kemenkes: Kita Diminta untuk Tetap Waspada

ASN Dilarang Buka Puasa Bersama, Kemenkes: Kita Diminta untuk Tetap Waspada

Nasional
KPU Anggap PN Jakpus Langgar Aturan karena Tak Mediasi Mereka dengan Prima

KPU Anggap PN Jakpus Langgar Aturan karena Tak Mediasi Mereka dengan Prima

Nasional
KPU Tambah Memori Banding, Bantah Klaim Janggal PN Jakpus soal Mediasi Prima

KPU Tambah Memori Banding, Bantah Klaim Janggal PN Jakpus soal Mediasi Prima

Nasional
Cerita Serka Sunardi, Babinsa yang Gagalkan Peredaran Ganja sampai Terseret Motor 10 Meter

Cerita Serka Sunardi, Babinsa yang Gagalkan Peredaran Ganja sampai Terseret Motor 10 Meter

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke