JAKARTA, KOMPAS.com – Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi yang diajukan tujuh pemohon terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Pasal yang dimohonkan adalah Pasal 70 ayat (2), Pasal 201 ayat (1), Pasal 201 ayat (2), pasal 201 ayat (3), dan Pasal 205A. Salah satunya mengenai ketentuan calon tunggal dalam pilkada.
Para pemohon berasal dari unsur perorangan warga negara Indonesia yang merupakan mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Galunggung (STHG) serta badan hukum privat.
"Pertama, UU Nomor 8 Tahun 2015, ada pelanggaran hak konstitusional. Kedua, pada prinsipnya kebetulan di kami kan calonnya tunggal, melawan kotak kosong,” ujar Dani Safari Effendi, salah satu pihak Pemohon, di Gedung MK, Selasa (22/3/2016).
Pemohon, lanjut dia, dalam hal ini merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan adanya putusan MK nomor 100/PUU-XIII/2015 tentang jajak pendapat calon tunggal kepala daerah (referendum).
Meski begitu, ia mengaku tak menolak putusan tersebut dari sisi substansi melainkan dari isi materiil.
Mereka sebelumnya juga sudah pernah mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pilkada (PHP) namun gugur karena dinilai tak memiliki kedudukan hukum atau legal standing.
Dengan ditolaknya permohonan ini, kata Dani, kemungkinan besar pihaknya akan menggugat Bupati dan Wakil Bupati terpilih Tasikmalaya, Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto jika keduanya dilantik.
"Kemungkinan besar walaupun bupati dan wakil bupati itu dilantik, kami akan melakukan gugatan baru," ujar Dani.
"Ke PTUN karena untuk menggugat surat pengangkatan Bupati dan pelantikan Bupati. Kalau sudah dilantik," kata dia.
Diloloskannya Uu Ruzhanul Ulum dan Ade Sugianto menjadi calon kepala daerah tunggal saat itu dianggap cacat syarat oleh para pemohon.
Salah satunya jika dikaitkan dengan Pasal 70 ayat (2) mengenai aturan tentang hak cuti petahana yang dalam putusan MK lainnya dikatakan harus mundur dari jabatan.
"Tetapi yang ini tidak," kata Dani.
Ia pun kecewa karena pihaknya dianggap tak memiliki legal standing dalam dua kali pengajuan permohonan perkara. Sedang hakim konstitusi tak pernah masuk ke substansi permasalahan.
"Jadi putusannya cuma legal standing terus," ucapnya.
Sementara itu, dalam sidang pembacaan putusan, Hakim Konstitusi Whiduddin Adams menjelaskan bahwa Pemohon sama sekali tidak memberikan uraian, baik dalam permohonan maupun dalam sidang perbaikan permohonan, tentang hak konstitusional apa yang dirugikan.
"Uraian mengenai hak konstitusional tidak ditemukan meski mahkamah telah memeriksa secara seksama seluruh permohonan. Mahkamah justru menemukan fakta dimana permohonan para pemohon makin tidak jelas," ujar Wahiduddin.
Karena itu, majelis hakim konstitusi berpendapat pemohon tak mampu menjelaskan kerugian inkonstitusionalnya serta tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan aquo.
"Amar putusan menyatakan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua MK Arief Hidayat mengakhiri sidang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.