Pengamat hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, melihat kericuhan yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah RI adalah tindakan yang kontra produktif.
Ia menilai, pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD merupakan satu hal yang sebenarnya tidak perlu diributkan, karena panjangnya masa jabatan tidak akan membawa pengaruh signifikan terhadap kinerja DPD itu sendiri.
Sementara, selama dua tahun terakhir, kinerja DPD dianggap tidak terlalu baik.
Tidak ada RUU dan komentar politik yang dihasilkan.
"Seharusnya mereka fokus pada perbaikan kinerja, bukan malah meributkan soal masa jabatan pimpinan. Itu tidak penting sama sekali," ujar Bivitri ketika dihubungi Kompas.com, Jumat siang (18/3/2016).
Lebih lanjut ia mengatakan, sikap yang ditunjukkan oleh DPD membuat masyarakat tidak bersimpati, sementara selama ini masyarakat sipil selalu mendorong agar kewenangan DPD diperkuat.
Kewenangan DPD selama ini, kata Bivitri, dinilai terlalu lemah.
DPD tidak memiliki kewenangan untuk membuat UU dan menentukan pejabat publik.
"Mereka hanya bisa mengajukan rancangan UU dan ikut dalam pembahasan," ungkapnya.
Sementara itu, Pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Komunikasi Politik Universitas Bengkulu, Lely Arrianie, menyayangkan kericuhan yang terjadi.
Menurutnya, kericuhan tersebut merupakan contoh pembelajaran politik yang buruk, tidak cantik sekaligus mempertontonkan perilaku politik yang tidak layak.
Sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, kata Lely, seharusnya pandai mengemas pesan politik termasuk ketidaksepakatan politik dengan argumentasi politik yang santun tapi tepat sasaran.
"Secara pribadi saya tidak menolerir kebodohan sikap politik para senator yang menyelesaikan persoalan apalagi internal dengan kericuhan," ujar Lely saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/3/2016).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.