Apalagi, kericuhan terjadi karena perebutan kursi pimpinan, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.
"Sungguh saya merasa malu dan sedih saat seorang menginfokan kepada saya bahwa DPD ricuh," kata Laode, Jumat (18/3/2016).
Ia curiga, perebutan kursi pimpinan ini terjadi karena berbagai fasilitas yang didapatkan oleh mereka yang menjabat pimpinan.
Fasilitas-fasilitas itu, di antaranya mobil mewah, rumah dinas, hingga protokoler yang siap mengawal ke mana saja.
"Tak penting kewenangan dan kinerja, yang penting menikmati fasilitas itu. Para anggota pun rupanya tergiur dengan simbol-simbol dan tampilan formal itu. Di antara mereka ingin segera menikmatinya juga," ujar Laode, yang pernah menjabat Wakil Ketua DPD dua periode ini.
Padahal, lanjut Laode, anggota DPD saat ini dalam sebulannya bisa mengantongi hingga Rp 100 juta.
Penghasilan ini, menurut dia, didapatkan dengan mengakali administrasi perjalanan dinas demi mendapatkan tambahan uang lebih.
"Jatahnya kelas bisnis, digunakan kelas ekonomi, dan sejenisnya. Enggak perlu tanya tentang hasil kerjanya yang mungkin kian enggak jelas," ujar dia.
Kericuhan di internal DPD dimulai dari munculnya draf tata tertib yang memangkas masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Tiga pimpinan yang ada yakni Irman Gusman, Farouk Muhammad, dan GKR Hemas menolak menandatangani draf tata tertib yang sudah disetujui dalam rapat paripurna DPD 15 Januari 2016 itu.
Ketua Panitia Khusus Tata Tertib Asri Anas beralasan, aturan yang mempersingkat masa jabatan pimpinan DPD itu bertujuan untuk mengontrol kinerja pimpinan.
Nantinya, setiap akhir masa jabatan, akan ada pertanggungjawaban dari para pimpinan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.