"Problem yang utama dari revisi UU Terorisme sebenarnya rendahnya kepercayaan publik kepada itikad baik penguasa," ujar Khairul, kepada Kompas.com, Selasa (15/3/2016).
Menurut dia, masyarakat khawatir penguasa menggunakannya sebagai alat untuk berbagai macam hal.
Misalnya, membungkam lawan politik dan orang atau kelompok yang dinilai kontraproduktif dengan pemerintah.
Poin revisi yang dianggap mengkhawatirkan soal wewenang aparat hukum melakukan penindakan dini dengan menahan seseorang hingga enam bulan lamanya tanpa bukti permulaan yang cukup.
"Bahkan, kekhawatiran ini lebih besar dari ketakutan masyarakat akan ancaman teror itu sendiri," ujar Khairul.
Khairul juga menilai, kekhawatiran itu bertambah dengan belum baiknya penegakan hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, ia berharap para wakil rakyat yang masih membahas rancangan UU itu selalu mengedepankan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan warga sipil, dan rule of law.
Saat disahkan, UU itu diharapkan benar-benar menciptakan rasa aman dan tetap nyaman dalam berdemokrasi.
"Bagaimanapun, negara tetap membutuhkan alat aksi yang efektif demi kepentingan keamanan nasional, sambil terus menjaga soal akuntabilitasnya dalam kerangka demokrasi dan rule of law," ujar Khairul.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.