Beberapa hasil pengaderan parpol memang membuahkan hasil. Namun, kondisi itu lebih didorong oleh desakan publik. Jika tak ada desakan publik, parpol akan tetap memasang calon-calon yang berkorelasi dengan pelanggengan kekuasaan para pengurus parpol.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego mengatakan, yang terjadi di parpol-parpol saat ini adalah tentang rebutan siapa menguasai apa. "Tidak berbicara partai ini sebuah organisasi yang menghubungkan rakyat dengan negara, tak ada yang berpikir seperti itu," kata Indria dalam sebuah kesempatan.
Dalam politik mobilisasi, siapa yang mempunyai uang akan menang. "Tetapi, buat apa kemenangan itu jika hanya membuat rakyat muak?" tanya Indra. Dia mengingatkan, parpol yang pengelolaannya ditentukan oleh uang lama-lama akan ditinggalkan rakyat.
Momentum minat politik netizen
Minat politik dan partisipasi anak muda semakin meningkat seiring dengan pemanfaatan teknologi internet, terutama melalui pelantar media sosial. Namun, perlu digarisbawahi, minat politik dan partisipasi kalangan netizen itu biasanya tak berbanding lurus dengan fakta di dunia nyata.
Aktivis dan pemerhati gerakan media sosial, yang juga Co-founder Change.org Indonesia, Usman Hamid, mengatakan, seolah ada "tembok" berupa persepsi buruk terhadap dunia politik yang dianggap kotor dan korup.
"Di sisi lain, mereka ingin memfungsikan sistem, yakni dengan mendorong agar pejabat A, atau instansi B, atau perusahaan C untuk memenuhi tuntutan anak-anak muda melalui, misalnya, petisi online," kata Usman.
Usman mengatakan, kekuatan anak muda di media sosial terbukti bisa ditransformasikan ke politik dunia nyata. "Kita telah punya pengalaman bagus. Pengalaman ketika mendukung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di media sosial akhirnya bisa jadi kekuatan riil waktu itu," ujarnya.
Tahun konsolidasi Generasi Y
Seperti sudah banyak diprediksi, tahun 2016 adalah tahun konsolidasi bagi kekuatan anak-anak muda melek internet. Tahun ini adalah tahun pengorganisasian diri, tahun memperkuat basis komunitas, dan tahun penentuan untuk mematangkan kesiapan Generasi Y mengahadapi event-event politik.
Perang tagar (hashtag) di media sosial sudah usai dan tak relevan lagi dianggap sebagai cara baru bersiasat di ranah demokrasi digital. Pada 2016, inilah tahun untuk memulai "perang baru" menggunakan taktik baru dengan mengandalkan kekuatan data dan aksi nyata.
Di tangan anak-anak muda melek media sosial, mereka mencoba menghimpun kekuatan dari dunia maya agar bisa ditransformasikan di dunia nyata. Berbagai tools berbasis web kini telah siap dan telah mereka miliki untuk diberdayakan sesuai keinginan mereka.
Inilah babak baru bagi Gen Y, Generasi Y, yang rata-rata lahir pada tahun 1981 hingga 1999 atau kini usianya berkisar 17-35 tahun, untuk memulai mengukir sejarah. Dari yang hanya sekadar main-main di dunia internet, para netizen ini mulai merambah kancah politik praktis.
Masuknya generasi muda ke ranah politik adalah sebuah upaya melawan paradoks. Selama ini, memang ada problem serius antara politik dunia riil dan gerakan media sosial.
Anak-anak Generasi Y sebenarnya teralienasi atau tersingkirkan dari panggung politik. Hal itu terkait citra politik yang mereka tangkap sebagai sesuatu yang masih penuh intrik dan didominasi oligarki pemodal.
Gerakan netizen diyakini bisa mengerahkan potensi kaum muda sebagai kekuatan politik riil. Mereka bahkan bisa menjadi shadow parliament (parlemen bayangan). Bukan sebatas menjadi voters (pemilih) dari para politisi.
Namun, gerakan anak-anak muda ini perlu diingatkan agar tak keluar dari konteks pemaknaan sistem politik yang dianut Indonesia. Ada proyek besar berupa kesadaran soal penguatan sistem politik Indonesia yang hingga kini terbengkalai.
Boleh saja benci pada elite politik di parpol, tetapi tidak boleh membenci parpol sebagai salah satu pilar demokrasi karena individu atau figur bukanlah pilar demokrasi.