Pada saat itu, menurut Moeldoko, Supersemar sangat kontekstual dengan situasi politik dan ekonomi Indonesia yang semakin memburuk. Karena itu, Presiden memiliki intuisi untuk mengeluarkan surat pengamanan.
Ia juga melihat, hal yang dilakukan oleh Soeharto setelah menerima Supersemar merupakan intuisi seorang pemimpin dalam mengambil tindakan pengamanan yang diperlukan.
(Baca: Kisah di Balik Dua Versi Diorama Supersemar di Monas)
Saat itu, Soeharto berusaha menerjemahkan perintah dan situasi. Akhirnya, yang muncul adalah intuisi sebagai seorang pemimpin tentara.
Moeldoko menjelaskan, dalam konteks teori dan pengalamannya selama menjadi Panglima TNI, ada yang namanya perkiraan cepat, misalnya ketika dia memerintahkan seorang komandan batalyon menyerang sebuah daerah.
Ternyata, dalam perjalanannya, hal tersebut tidak sesuai dengan rencana.
"Maka dari itu, ada yang namanya perkiraan cepat untuk menghasilkan keputusan cepat. Itu kira-kira bagaimana terkait pengambilan tindakan dan keputusan," ujar Moeldoko dalam sebuah diskusi bertajuk "Supersemar, dari Soekarno ke Soeharto: Peta Kontestasi dan Arah Rekonsiliasi" di kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (10/3/2016).
(Baca: Kisah Pengujian Keaslian Dokumen Supersemar)
Artinya, menurut Moeldoko, ketika seorang pemimpin tentara diberi perintah oleh Presiden dan dalam perjalanannya tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan, maka inisiatif akan muncul dari pemimpin atas situasi tersebut.
Sementara itu, berdasarkan catatan sejarah, Soeharto mengambil beberapa tindakan guna mengamankan situasi di Indonesia pasca-Supersemar.
Soeharto melakukan pembubaran PKI, mengamankan 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.