JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung M. Prasetyo menantang mantan komisaris PT. Mobile 8, Hary Tanoesoedibjo, untuk datang memenuhi panggilan penyidik.
Kemarin, Hary berhalangan hadir untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi dalam penerimaan kelebihan bayar atas pembayaran pajak PT. Mobile 8 Telecom (PT. Smartfren) Tahun Anggaran 2007-2009.
"Alasannya ke luar kota ya, kita tunggu sampai dia datang. Kalau tidak salah, tidak usah takut, datang saja," ujar Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (11/3/2016).
Prasetyo mempertanyakan pernyataan pengacara Hary, Hotman Paris Hutapea. Sebelumnya, Hotman menyebut Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan bahwa apa yang dilakukan kliennya sudah sesuai aturan.
Prasetyo menduga, Hotman hanya mencatut Ditjen Pajak sebagai pembenaran.
(Baca: Pengacara Hary Tanoe: Diperiksa Kejagung, Siapa Takut?)
"Tolong diklarifikasi itu, saya tidak tahu sumbernya dari mana dan mengapa mereka berani mencatut nama Dirjen Pajak mengatakan tidak ada masalah di situ," kata Prasetyo.
Penyidik nantinya akan memanggil Ken untuk dikonfirmasi mengenai ucapan pihak Hary. Prasetyo menyayangkan banyaknya isu yang berkembang di luar soal perlara inj, namun pembenarannya belum bisa dibuktikan.
"Dirjen Pajak akan kita undang apakah benar dia bicara seperti itu. Dirjen Pajak kita telepon tidak benar pernah ngomong seperti itu," kata Prasetyo.
Dugaan transaksi fiktif
Kasus dugaan korupsi PT Mobile 8 bermula saat Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif yang dilakukan dengan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Pada periode 2007-2009 yang lalu, PT Mobile 8 melakukan pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar. PT Djaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan.
(Baca: Jaksa Yulianto: Memang Saya Kader Hary Tanoe?)
Ternyata, PT Djaya Nusantara Komunikasi tak mampu membeli barang dalam jumlah itu. Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada Desember 2007, PT Mobile 8 mentransfer uang kepada PT Djaya Nusantara Komunikasi sebanyak dua kali dengan nilai masing-masing Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar. Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan.
(Baca: Jaksa Agung Sindir Hary Tanoe yang Merasa Pemimpin Bangsa)
Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10 miliar. Padahal, perusahaan itu tidak berhak atau tidak sah menerima restitusi karena tidak ada transaksi. Akibatnya, diduga negara mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.