Tidak ada yang dapat memastikan apakah Supersemar hanya perintah untuk menjaga stabilitas keamanan negara, atau justru dijadikan alat kudeta?
Tiga naskah Supersemar yang disimpan dalam brankas antiapi milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan, dipastikan tidak autentik alias palsu.
Kepastian bahwa naskah itu palsu diperoleh setelah dilakukan uji forensik di Laboratorium Polri pada 2012 silam.
Kisah perburuan naskah asli Supersemar
Mantan Kepala ANRI, M. Asichin, mengatakan, pencarian naskah autentik Supersemar mulai gencar dilakukan pada tahun 2000.
Pada 7 Maret 2000, Kepala ANRI saat itu, menemui Sekretaris Jenderal MPR RI, Umar Basalim.
"Sebab, menurut informasi saat itu, naskah Supersemar telah diserahkan Amir Machmud (salah satu perwira tinggi saksi kunci penandatanganan Supersemar) kepada Ketua MPRS tahun 1966 yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penetapan TAP MPRS tentang pengangkatan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden RI," ujar Asichin, saat ditemui Kompas.com, beberapa hari lalu.
Namun,naskah Supersemar tidak ada pada Umar atau pada bank data MPR RI.
Gagal periksa Soeharto
Pada 8-10 Maret 2000, ANRI berturut-turut mewawancarai Sekretaris Negara Bondan Gunawan, mantan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution, Ketua DPR RI Akbar Tanjung hingga Jenderal (purn) Faisal Tanjung.
Bahkan pada 10 Maret itu, ANRI mengirimkan surat kepada DPR RI, meminta wakil rakyat untuk memanggil H.M. Soeharto dan Jenderal (Purn) M. Jusuf untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan Supersemar.
Namun, karena alasan kesehatan, keduanya tidak kunjung datang untuk memberikan keterangan.
Sementara, dari pihak Soekarno, ANRI telah mewawancarai salah seorang putrinya pada 26 April 2007, yakni Sukmawati Soekarnoputri.
Sukmawati mengaku tengah berada di Bandung saat penandatanganan Supersemar, sehingga ia tidak mengetahui persis kejadian itu.