Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan Sakit Meragukan, Politisi Golkar Budi Supriyanto Dipanggil Ulang oleh KPK

Kompas.com - 11/03/2016, 07:56 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil ulang anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Budi Supriyanto.

Budi yang sedianya diperiksa penyidik pada Kamis (10/3/2016) kemarin, tidak hadir dan mengirimkan surat berisi alasan sakit yang tidak jelas.

"Penyidik akan mengirim panggilan ulang. Penyidik juga akan konfirmasi ke dokter yang memberikan surat sakit," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (10/3/2016).

Menurut Priharsa, penyidik menerima surat dari Rumah Sakit Roemani Semarang yang menyatakan Budi sedang dalam keadaan sakit, dan membutuhkan istirahat selama 3 hari.

Meski demikian, dalam surat tersebut tidak disebutkan diagnosis atas penyakit yang dialami Budi.

Penyidik kemudian menghubungi pihak rumah sakit, dan diketahui bahwa tidak ada analisis dokter soal sakit yang dialami Budi.

Mengetahui hal ini, menurut Priharsa, penyidik berencana mengonfirmasi langsung surat tersebut ke dokter yang memberikan rekomendasi.

Sedianya, pemeriksaan kali ini merupakan pemeriksaan perdana Budi sebagai tersangka.

Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Budi diduga menerima hadiah atau janji dari Chief Executive Officer PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir, agar PT WTU tersebut mendapat pekerjaan di proyek Kementerian PUPR.

Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Budi sempat mengembalikan uang suap yang diterima sebesar 305 ribu dollar Singapura.

Namun, oleh Direktorat Gratifikasi KPK, pengembalian uang tersebut ditolak, karena terkait dengan tindak pidana yang sedang ditangani KPK.

Selanjutnya, uang tersebut disita sebagai barang bukti.

Budi diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dalam kasus ini, Abdul Khoir diduga memberi uang kepada Damayanti, dan dua orang stafnya, Julia dan Dessy, masing-masing 33.000 dollar Singapura.

Damayanti merupakan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI-P.

Adapun suap yang diberikan kepada Damayanti terkait proyek Jalan Trans-Seram di Maluku yang dikerjakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Pembangunan Rakyat.

Uang sebesar 33.000 dollar Singapura itu merupakan bagian dari commitment fee agar PT WTU mendapatkan proyek-proyek di bidang jasa konstruksi yang dibiayai dari dana aspirasi DPR di Provinsi Maluku.

PT WTU mengincar sejumlah proyek jalan di provinsi itu yang dianggarkan dari dana aspirasi DPR dan dicairkan melalui Kementerian PUPR.

Istimewa/Arsip Kompas Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) sebenarnya berisi perintah Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum.

Perintah lainnya, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya.

Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno.

Menurut Asvi, tindakan yang dilakukan Soeharto karena Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu." (Baca: Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri)

KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, saat menghadiri sebuah diskusi mengenai Supersemar di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (10/3/2016).
"Frasa itu menjadi blunder yang dilakukan Bung Karno. Seorang sipil memberikan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara. Perintah kepada tentara seharusnya itu kan jelas, terbatas, dan jelas jangka waktunya," ujar Asvi, saat dijumpai Kompas.com, Minggu (6/3/2016).

Asvi mengatakan, sebagai seorang sipil, Soekarno seharusnya tidak memberikan perintah yang tidak jelas kepada seorang tentara.

Lebih dekat dengan kekuasaan

Surat perintah itu dinilai membawa Soeharto selangkah lebih dekat dengan kekuasaan.

Tafsir atas "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu" menjadi pengambilalihan kekuasaan dari Soekarno.

"Itu kan selangkah lagi untuk mengambil kekuasaan. Betul Jika dikatakan surat itu adalah kunci pengambilalihan kekuasaan. Jadi kalau pakai itu, tinggal diputar kuncinya dan dapatlah kekuasaan," ujar Asvi. 

Setelah menerima Supersemar, langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No 1/3/1966.

Surat itu dibuat dengan mengatasnamakan Presiden bermodal mandat Supersemar yang ditafsirkan oleh Soeharto sendiri. (Baca: Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta")

Langkah kedua, Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.

Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan yang diberikannya.

Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”.

"Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu suatu transfer of soverignty. Transfer of authority. Padahal tidak! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengaman ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal!"

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama Pilkada 2024, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasdem-PKS Jajaki Kerja Sama Pilkada 2024, Termasuk Opsi Usung Anies

Nasional
KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

KPK Duga Hakim Agung Gazalba Saleh Cuci Uang Rp 20 Miliar

Nasional
Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Gibran Bakal ke Istana Malam Ini, Bersama Prabowo?

Nasional
Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Surya Paloh Sebut Nasdem dan PKS Siap Bergabung ke Pemerintahan Prabowo maupun Jadi Oposisi

Nasional
KPK Cek Langsung RSUD Sidoarjo Barat, Gus Muhdlor Sudah Jalani Rawat Jalan

KPK Cek Langsung RSUD Sidoarjo Barat, Gus Muhdlor Sudah Jalani Rawat Jalan

Nasional
Bertemu Presiden PKS, Surya Paloh Akui Diskusikan Langkah Politik di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Bertemu Presiden PKS, Surya Paloh Akui Diskusikan Langkah Politik di Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Respons Jokowi dan Gibran Usai Disebut PDI-P Bukan Kader Lagi

Respons Jokowi dan Gibran Usai Disebut PDI-P Bukan Kader Lagi

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Doakan Timnas Indonesia U-23 Kalahkan Korsel

Wapres Ma'ruf Amin Doakan Timnas Indonesia U-23 Kalahkan Korsel

Nasional
Soal Ahmad Ali Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Bisa Saja Masalah Pilkada

Soal Ahmad Ali Bertemu Prabowo, Surya Paloh: Bisa Saja Masalah Pilkada

Nasional
Prabowo Sangat Terkesan Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Hasil Pilpres 2024

Prabowo Sangat Terkesan Anies-Muhaimin Hadiri Penetapan Hasil Pilpres 2024

Nasional
Prabowo: Saya Enggak Tahu Ilmu Gus Imin Apa, Kita Bersaing Ketat…

Prabowo: Saya Enggak Tahu Ilmu Gus Imin Apa, Kita Bersaing Ketat…

Nasional
Prabowo: PKB Ingin Terus Kerja Sama, Mengabdi demi Kepentingan Rakyat

Prabowo: PKB Ingin Terus Kerja Sama, Mengabdi demi Kepentingan Rakyat

Nasional
Jokowi: UU Kesehatan Direvisi untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Jokowi: UU Kesehatan Direvisi untuk Permudah Dokter Masuk Spesialis

Nasional
Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Cak Imin Titipkan Agenda Perubahan PKB ke Prabowo, Harap Kerja Sama Berlanjut

Nasional
Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Gibran Cium Tangan Ma'ruf Amin Saat Bertemu di Rumah Dinas Wapres

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com