Terutama pada pasal yang memberikan kewenangan pada penegak hukum untuk menempatkan orang yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme dalam satu tempat selama enam bulan dalam rangka pencegahan.
Arsul menambahkan, jangan sampai pasal tersebut memberikan peluang bagi para penegak hukum untuk menciptakan satu pusat penahanan seperti Guantanamo Bay di Kuba.
"Misalnya setiap orang tertentu, ini siapa? Apakah yang sudah terduga, keluarganya, atau siapa? Detensi ini apa makananya? Kegiatannya apa?" kata Arsul di sela acara diskusi di Hotel Morrissey Jakarta, Selasa (8/3/2016).
"Kalau normanya seperti yang ada di RUU, lalu penafsirannya diserahkan ke penegak hukum tanpa rambu-rambu yang lebih ketat, ini harus dikritisi," imbuhnya.
Selain itu, lanjut Arsul, perlu pula diperjelas bagaimana mekanismenya jika terduga teroris itu mau keluar dari tempat tahanan tersebut. Pasalnya, hal tersebut dinilai menyangkut kebebasan bergerak pada seseorang yang belum dinyatakan bersalah.
Arsul mengakui, revisi UU terorisme ini penting untuk dilakukan. Namun, menurut dia, jangan sampai fokusnya hanya memperluas kewenangan penegak hukum namun juga diimbangi dengan perluasan terhadap Hak Asasi Manusia.
Misalnya, seperti aturan mengenai kejelasan kompensasi dan rehabilitasi yang jelas pada terduga pelaku.
"Kalau salah tahan? Salah tembak? Bahkan sampai meninggal? Harus jelas ketentuan itu," kata politisi PPP itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.