Ia berpendapat bahwa proses penyadapan yang dilakukan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan sangat berpotensi disalahgunakan dan melanggar hak privasi warga negara.
"Penyadapan mau tidak mau harus dilakukan melalui mekanisme izin ketua pengadilan," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Sabtu (5/3/2016).
Pemerintah berencana mengubah ketentuan terkait kewenangan penyadapan oleh penyidik melalui revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terosisme dengan menghilangkan aturan izin penyadapan oleh ketua pengadilan.
(Baca: Ini Pasal yang Dianggap Kontroversial dalam Draf RUU Anti-Terorisme)
Di dalam pasal 31 draf RUU tersebut, kewenangan menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme.
Pelaksanaan penyadapan tersebut wajib dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika.
Sementara pada UU saat ini, menyebutkan tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
(Baca: Luhut: Saya Berdoa Tak Ada Bom Meledak Dekat Penolak RUU Antiterorisme)
Lebih lanjut, menurut AL Araf, Pemerintah sebaiknya menindaklanjuti putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa penyadapan sebaiknya diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini diperlukan untuk memastikan mekanisme pertanggungjawaban penyadapan tersebut.
Ia juga menambahkan, hukum dalam masyarakat demokratis berfungsi untuk memberi, mendefinisikan, dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara.
Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
"Dengan mengingat ulang teori itu, bisa dikatakan bahwa produk legislasi antiterorisme sebenarnya perlu dan sesuai dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hak-haknya," kata Al Araf.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.