Draf revisi UU Anti-terorisme mengusulkan perubahan limitasi waktu penahanan dari 7x24 jam menjadi 30 hari sebelum seseorang ditetapkan menjadi tersangka.
Pasal 28 dalam revisi UU tersebut menyatakan, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari.
Peneliti Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan, panjangnya masa penahanan seseorang yang belum jelas status hukumnya merupakan tindakan sewenang-wenang.
"Perpanjangan masa penahanan ini memiliki indikasi timbulnya abuse of power," kata Bonar, di Kantor Setara Institute, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis (3/3/2016).
Ia menjelaskan, Konvensi Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengatur bahwa penahanan hanya dibenarkan terhadap seseorang dengan status hukum yang jelas dengan durasi waktu yang rasional, untuk sesegera mungkin dibawa ke pengadilan.
Dengan demikian, konstruksi pasal 28 akan menjadi norma yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Selain itu, menurut dia, juga tak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 19 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan hanya selama 1 hari.
"Dan pada pasal 25 KUHAP, masa penahanan untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama selama 20 hari," ujar Bonar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.