Ia menyebutkan, KPK tidak akan pernah bisa mengangkat penyelidik dan penyidik independen apabila terdapat syarat pengalaman dua tahun.
"Saya menilai tidak konsisten. Memberi wewenang mengangkat, namun harus dengan syarat. Sama saja KPK tidak pernah bisa mengangkat penyelidik dan penyidik independen," ujar Chandra Hamzah dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh ILUNI UI, di Kuningan, Jakarta, Senin, (22/2/2016).
"Analoginya apakah kita harus mencari presiden, tapi dengam syarat harus memiliki pengalaman selama 2 tahun sebagai Presiden?" tambahnya.
(Baca: Revisi UU KPK, Ketua KPK Siap Mundur)
Poin lain yang juga menjadi sasaran kritiknya adalah soal kewenangan penyadapan. Di dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi disebutkan bahwa kewenangan penyadapan tidak hanya dimiliki oleh KPK, tetapi juga Kejaksaan dan Kepolisian.
Lembaga lain seperti Badan Intelijen Negara (BIN) pun memiliki kewenangan menyadap dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sementara saat ini yang selalu diributkan hanya kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK.
"Lalu bagaimana dengan dua lembaga yang lain?" ucapnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan, Mahkamah Konstitusi dalam putusan judicial review pernah mengatakan, penyadapan yang dilakukan KPK adalah sah menurut undang-undang.
(Baca: Usai Bertemu Pimpinan DPR, Jokowi Akan Bersikap soal Revisi UU KPK)
Ia pun mengusulkan terkait penyadapan, seharusnya diatur dalam UU tersendiri, karena ada beberapa lembaga lain juga memiliki kewenangan menyadap.
Hal lain yang juga menunjukkan inkonsistensi draf perubahan UU KPK yakni kewenangan dewan pengawas dalam memberikan izin penyitaan dan penyadapan.
(Baca: Menkumham Dukung Penyadapan yang Dilakukan KPK Dibatasi )
Menurut Chandra, aturan ini menyalahi Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur kewenangan penyitaan hanya penyidik dan penuntut umum. Sedangkan kewenangan penyadapan hanya boleh dilakukan oleh penyelidik, penyidik dan penuntut umum.
Dengan begitu, pemberian izin penyadapan hanya boleh berasal dari lembaga yang termasuk dalam bagian penegak hukum.
"Ada ketidakkonsistenan dalam draf RUU KPK sekarang. Draf ini juga tidak memahami beberapa istilah KUHAP," papar Chandra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.