Seperti kisah yang pernah diterbitkan di Harian Kompas, pada 26 Desember 1999.
Hari itu, Jumat malam, 24 Desember 1999, jalan di antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, dipadati ribuan warga.
Orang-orang berpakaian putih, berpeci dan menenteng Al Quran berduyun-duyun masuk ke dalam masjid. Ada peringatan Nuzulul Quran.
Dari dalam area masjid, orang-orang berpakaian rapi terlihat menenteng injil berjalan menyeberang jalan masuk ke gereja. Malam itu juga digelar perayaan malam Natal.
Pelataran parkir Gereja Katedral tak bisa menampung kendaraan seluruh umatnya sehingga area parkir Istiqlal pun digunakan.
Ada kedamaian ketika umat dua pemeluk agama ini berpapasan.
"Sama sekali saya tidak khawatir, walaupun di luaran banyak cerita soal kerusuhan antaragama. Saya tiap tahun Natalan di Katedral sini dan tiap kali pula memarkir mobil di tempat parkir Masjid ini," kata Shanti, umat Katolik dari Kelapa Gading.
(Baca: Masjid Istiqlal dan "Proyek Megalomania" ala Soekarno)
Dicky, umat Muslim yang tinggal di Galur, Jakarta Pusat, yang hendak masuk ke masjid juga tidak mempersoalkan umat Katolik memakai pelataran parkir masjid.
"Pelataran di sini kan luas. Wajar kalau kita juga beri warga yang hendak ke gereja," ujar dia.
Jika melihat kedamaian itu, rasa-rasanya perang antara kelompok Muslim dan Kristen di Ambon yang terjadi pada era itu seakan tak nyata.
Tidak lama kemudian, alunan Qori membaca Al Quran menggema di kawasan masjid.
Sementara, dari gereja, misa malam Natal juga dimulai. Nyanyian syahdu terdengar daru kejauhan.
Puluhan tahun merawat