JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, mengaku masih heran, mengapa DPR begitu semangat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Padahal, kinerja KPK dinilai baik setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Ia melihat tak ada yang salah dengan lembaga antirasuah tersebut.
Apalagi, dalam 10 tahun terakhir KPK merupakan lembaga yang paling dipercaya publik. Sedangkan Kepolisian dan Kejaksaan yang angkanya jauh di bawah KPK malah tampak tak tersentuh oleh DPR.
"Kalau institusi ini (KPK) mampu menjaga wibawanya dalam 10 tahun terakhir, apa yang mau diubah dari KPK? Apanya yang diperkuat?" kata Ray dalam sebuah acara diskusi di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (17/2/2016).
"Sebaliknya, lembaga yang paling bontot dipercaya publik, tidak pernah. Tidak pernah ada keinginan DPR untuk melakukan revisi terhadap UU Kepolisian dan UU Kejaksaan," ujarnya.
Revisi UU KPK, lanjut Ray, sudah bukan lagi pelemahan, namun pembunuhan perlahan terhadap komisi tersebut.
Pelemahan dari dalam dilakukan melalui revisi UU KPK karena pelemahan dari luar sudah tak mungkin dilakukan.
Hal tersebut salah satunya ditunjukan dengan adanya poin usulan terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK.
Ray melihat, lembaga tersebut berpotensi memikiki fungsi persis seperti praktik pada era Orde Baru. (Baca: Ini Konsep Dewan Pengawas KPK yang Diinginkan DPR)
Karena KPK merupakan institusi di luar pemerintahan, maka pemerintah tak memiliki kekuasaan untuk secara langsung mengintervensi KPK.
Sementara pembentukan dewan pengawas akan secara otomatis membuat lembaga tersebut dapat dikontrol. Terlebih, dewan pengawas bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada pimpinan KPK.
(Baca: Dewan Pengawas Dapat Pengaruhi Independensi dan Akuntabilitas KPK)
Dewan pengawas pun memiliki kewenangan memberi dan tidak memberi izin terhadap permintaan penyadapan dari KPK. (Baca: Independensi KPK Tergerus Dewan Pengawas)
"Bukan sekadar melemahkan KPK tapi perlahan membunuh KPK. Sebab mengintervensi KPK, nanti muncul lah ketidakpercayaan yang kuas terhadap KPK," ujar Ray.
Sementara itu, peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar menyinggung pasal 46 ayat 3 revisi UU KPK yang menyebutkan bahwa dalam menetapkan seorang pimpinan lembaga tinggi negara sebagai tersangka harus mendapat persetujuan dan rekomendasi dari dewan pengawas.
Menurut Erwin, pasal tersebut juga bisa menghambat kinerja KPK ke depannya. Terutama dengan situasi politik yang koruptif, sejumlah pejabat negara berpotensi tak tersentuh.
"Misalnya OTT Pejabat MA. Logikanya larinya ke sekretaris MA. Kalau pakai logika UU ini, ini tidak bisa disentuh," ucap Erwin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.