Sjahrir dikenal orang yang tidak tahan akan kesendirian. Maka dari itu, berkiirm surat kepada orang yang dikasihinya menjadi satu-satunya cara Sjahrir terselamat dari depresi kesendirian. Apa pun diceritakan Sjahrir kepada Maria dalam bahasa Belanda mulai dari ukuran sel tahanannya hingga makanan di penjara.
"Makin lama aku makin banyak melupakan apakah selera dan perangsang itu. Aku kini menganggap makan sebagai kewajiban, dan dengan demikian rasa kenyang beralih dari makan ke arah yang dimakan, kira-kira cara yang sama degan orang yag merasa puas menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kepuasan rohain dari jiwa lebih banyak daripada kepuasan hawa nafsu perut jadi kepuasan dengan spiritualital 'yang lebih tinggi'. Kamu dapat melihat apa yang ditekan jika makan memakai semangkok dari kaleng," tulis Sjahrir dalam suratnya untuk Maria.
Pada tanggal 16 November 1934, diputuskan bahwa lima pimpinan PNI diasingkan ke Boven Digul yang sangat terpencil. Bung Hatta dan Sjahrir turut di dalamnya. Mereka menganggap pengasingan itu sebagai sebuah tamasya yang tak jelas kapan selesainya.
Kisah perjalanan mereka menuju Boven Digul yang saat itu ditakuti karena wabah malaria yang mematikan pun diceritakan Sjahrir kepada Maria dengan pandangan lebih optimis. Dia juga menceritakan buku-buku bacaanya selama menjadi tahanan yakni kitab Injil, novel, sama sekali tidak ada mengenai politik.
Dia pun bercerita soal interaksinya dengan "orang buangan" di Digoel yang tidak terpelajar. Selama di sana, tingkah laku Sjahrir cukup aneh. Sjahrir lebih senang berkelana melalui perahu kano menyusuri Sungai Digoel, berenang, hingga bermain bola. Sjahrir pun dikenal sebagai "pengelana jenaka".
Selama berada di pengasingan, Sjahrir seolah melepaskan diri dari dunia politik. Hal ini berbeda dengan rekannya, Bung Hatta yang masih aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar.
Setelah ditelusuri, ternyata Sjahrir membuat kesepakatan dengan pemerintah Belanda untuk tidak menuliskan atau pun terlibat dalam pergerakan politik apa pun. Dengan membuat kesepakatan itu, Sjahrir mendapat tambahan uang dari Belanda untuk biaya korespondensi dengan Maria dari yang semula 2,6 gulden menjadi 7,5 gulden.
Bagi Sjahrir, Maria adalah penyemangat hidupnya. Tidak pernah dia, semenjak ibunya Rabiah meninggal, begitu sungguh-sungguh berbicara dengan wanita.
Ketika Perang Dunia II meletus, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman sehingga seluruh korespondensi terputus. Mulai dari 1931-1940, Maria menerima 287 surat dengan panjang antara 4-7 halaman dari Sjahrir.
Dia sempat berpikir untuk membakarnya namun Maria dibantu suaminya yang jug adik Sjahrir, Sutan Sjahsyam memutuskan membukukannya dengan judul Indonesische Overpeinzingen, diterbitkan di Amsterdam pada 1945 di bawah nama samaran Sjahrazad.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.