Pernikahan dua ras yang berbeda itu menjadi perhatian mencolok. Dengan cepat, berita soal Sjahrir bersama Maria tersiar ke kalangan masyarakat Belanda hingga penduduk pribumi.
Surat kabar setempat bahkan memuat artikel untuk mendesak pemerintah bertindak terhadap Sjahrir dan istrinya. Maria pun pernah dihentikan di tengah jalan oleh orang kulit putih lain yang bertanya apakah dia butuh bantuan.
Surat kabar De Sumatra Post mengangkat berita utama soal pasangan eksentrik ini dengan judul "Wanita memakai sarung dan kebaya, di bawah pegawasan polisi" pada 13 Mei 1932.
Dengan semakin maraknya pemberitaan Sjahrir dan Maria, kabar pun dengan cepat tersiar bahwa Maria belum resmi bercerai dari suami sebelumnya, Sol Tas yang ada di Belanda. Sehingga, pernikahan Sjahrir dengan Maria dianggap tidak berlaku oleh pejabat Islam, hanya berselang satu bulan pasca pernikahan mereka.
Atas keputusan itu, pejabat Belanda memulangkan Maria kembali ke kamung halamannya dengan menggunakan kapal. Peristiwa ini juga dijadikan peringatan dari pemerintah Belanda kepada aktivits PNI.
Setelah dipulangkan ke Belanda, Maria terus mencari akal untuk bisa kembali bertemu sang suami. Dia bersurat kepada Ratu Belanda untuk bisa membawa kembali Sjahrir untuk melanjutkan studi di Belanda, namun permintaan itu ditolak.
Maria terus berkirim surat, kali ini alasannya ingin kembali ke Inodnesia untuk bertemu dengan suami, namun permintaan itu tak pernah dijawab oleh sang ratu. Hingga pada tahun 1934, pemerintah Belanda meringkus puluhan anggota PNI, tak terkecuali Bung Hatta dan Sjahrir.
Sjahrir ditangkap hanya saat hendak bertolak ke Belanda menyusul perempuan yang begitu dicintainya. Sebuah tiket kapal SS Aramis sudah dipesannya jauh-jauh hari, namun percuma saja. Pertemuan Sjahrir dengan Maria kembali gagal karena yang memiliki pengetahuan luas di bidang hukum, sosiologi, dan politik itu harus mendekam di balik jeruji penjara Cipinang.
Selanjutnya: Surat cinta untuk Maria