Oleh: ST Sularto
Sejak Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional tahun 2003, perayaannya senantiasa menggairahkan.
Tari barongsai digelar di berbagai tempat, menyedot perhatian masyarakat luas. Imlek menegaskan pernyataan Mpu Tantular: Bhinneka Tunggal Ika.
Seperti hari-hari besar lainnya, nuansa Imlek sarat makna. Tidak hanya arus transportasi bertambah sibuk oleh mobilitas orang bepergian dan maraknya kegiatan bisnis dengan pernak-pernik imlek, tetapi juga aspek sosial-politik-budaya etnis Tionghoa sebagai bagian utuh bangsa dan rakyat Indonesia.
Masyarakat Tionghoa tidak lagi diasosiasikan sebatas bidang ekonomi, tetapi juga bidang-bidang lain.
Dengan pengakuan itu, diharapkan tidak lagi ada kecurigaan dan keluhan perlakuan diskriminatif, sebaliknya berkembang rasa kesetiakawanan, kebersamaan, solidaritas, dan tekad hidup bersama.
Yayasan Nation Building (Nabil) yang diinsiasi Eddie Lembong, misalnya, sekadar contoh serius ikut mengembangkan kebersamaan ini.
Membenarkan pernyataan Ernest Renan, kebinekaan adalah keniscayaan, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah tekad hidup bersama sebagai bangsa.
Kesibukan transportasi di Tiongkok dan Taiwan menjelang Imlek mengingatkan suasana menjelang Idul Fitri.
Hari raya Idul Fitri dengan ikutan sebagai Lebaran menjadi budaya kita, Indonesia, sebagai hari kebersamaan. Mudik-ketemu di udik-kesempatan menyambung kembali suasana keterpisahan fisik selama setahun merantau.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.