Misalnya, ia dapat menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai dengan kewenangan yang lebih besar daripada Dewan Pimpinan Partai. Ini semacam daur ulang dari posisi Ketua Dewan Pembina Golkar yang mempunyai hak veto pada zaman Pemerintahan Orde Baru.
Mengikuti alur logika di atas, langkah Golkar mendukung Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang semalam ditegaskan lewat deklarasi resmi jangan-jangan juga hanya bagian dari siasat politik yang belum tentu menjamin efektivitas pemerintahan.
Jika dugaan itu benar, tentu disayangkan. Pasalnya, panggung politik akan makin gaduh, tetapi tanpa roh yang menuntun para petinggi negara bertindak bijak.
Akhirnya, dinamika di Rapimnas Golkar tampaknya hanya skenario untuk mengukuhkan legitimasi kubu Munas Bali.
Sangat disayangkan, perhelatan yang merupakan lembaga tertinggi kedua setelah munas itu hanya menuju jalan buntu.
Dari segi tontonan, panggung politik itu sangat mengasyikkan, tetapi ongkosnya sangat mahal, karena mengorbankan harapan rakyat yang menunggu kiprah partai yang tak sekadar memperebutkan kedudukan, melainkan juga karya nyata bagi rakyat.
Masyarakat menunggu kapan Aburizal melempar handuk demi kepentingan rakyat yang lebih besar.
J Kristiadi
Peneliti Senior CSIS