JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai, jika revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dilakukan, maka perubahan substansi sebaiknya menitikberatkan pada hukuman.
Setidaknya, menurut Zulkifli, ada empat hal yang belum diatur di dalam UU Terorisme sehingga perlu ditambahkan.
Keempat hal itu, yakni sanksi untuk warga negara Indonesia yang pergi ke luar negeri dan bergabung dengan kelompok radikal; sanksi terhadap orang-orang yang terlibat dalam pelatihan teror; serta peran kepala daerah dalam mengantisipasi aksi teror.
"Juga mengenai hukuman yang dijatuhkan masih terlalu ringan, hanya dua atau tiga tahun (penjara) saja," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (20/1/2016).
Ketua Umum PAN itu mengatakan, terorisme merupakan musuh bersama yang perlu mendapatkan penanganan bersama. (Baca: Ketua MPR Sebut Jokowi Akan Revisi UU Anti-Terorisme Dibanding Terbitkan Perppu)
Menurut dia, pemerintah tidak cukup apabila hanya menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mengatasi persoalan teroris.
"Perppu memang cepat, tapi juga berisiko menimbulkan pro dan kontra," ujarnya.
Pemerintah ingin UU Anti-terorisme direvisi. Masalah itu dibahas dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan para pimpinan lembaga tinggi negara.
Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan bahwa rencana revisi UU Anti-terorisme adalah untuk meningkatkan pencegahan terjadinya aksi terorisme.
Saat ini, substansi revisi masih dibahas. Namun, salah satunya dimungkinkan penangkapan pada orang yang diduga akan melakukan aksi terorisme. (Baca: Pemerintah Ingin Aturan Penahanan Sementara Terduga Teroris Lebih Longgar)
"Intinya memberi kewenangan untuk preemptive," kata Luhut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (19/1/2016).
Luhut menuturkan, dengan kewenangan pencegahan itu, kepolisian atau aparat hukum lainnya dapat melakukan penahanan sementara orang-orang yang diduga akan melakukan aksi teror.
Saat ini, penahanan hanya bisa dilakukan jika memiliki bukti permulaan. Adapun durasi penahanan sementara itu, kata Luhut, masih dibahas mendalam. (Baca: MUI Tolak jika Revisi UU Anti-terorisme untuk Aksi Represif)
Usulan yang mencuat mengenai waktu penahanan sementara itu adalah selama satu sampai dua pekan.
"Untuk pemeriksaan, penahanan sementara bisa seminggu atau dua minggu, kemudian dilepas (jika tak terbukti)," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.