Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gugatan Hasil Pilkada Terbentur Batas Selisih Suara, Petisi Rakyat Digalang

Kompas.com - 11/01/2016, 15:25 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Gerakan Anti Kejahatan (Gerak) Pilkada menggalang petisi rakyat untuk menjaga integritas pilkada. Petisi ini digalang untuk mencabut Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Menurut Koordinator Gerak Pilkada, Aziz Suharsono, pasal tersebut terkesan tak memedulikan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dalam penyelenggaraan pilkada serentak, tetapi hanya melihat batas selisih suara.

Dia menilai syarat selisih suara tak relevan untuk dipermasalahkan apabila hal tersebut terjadi karena kecurangan dan kejahatan pilkada.

Dalam Pasal 158 ayat (1) dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.  

Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi. 

"Sekarang sudah hampir 30-40 daerah. Paling tidak 100 daerah dari 147 pemohon," ujar Aziz dalam sebuah dikusi di Jakarta, Senin (11/1/2016). 

Menurut Aziz, petisi rakyat tersebut akan digalang setidaknya hingga sebelum putusan sela di MK pada 18 Januari.  

Ada tiga tuntutan

Di samping petisi yang tengah digalang, kata Aziz, ada pula petisi online yang telah mendapatkan sekitar 1.500 dukungan dari unsur masyarakat.

Petisi online tersebut digalang melalui www.pejuangdemokrasi.com/gerakpilkada dan telah digalang sejak hari pertama sidang sengketa hasil pilkada MK.

Aziz memaparkan, ada tiga tuntutan yang digalang. Pertama, yaitu desakan bagi presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut Pasal 158 UU Pilkada.

Pasal tersebut, kata Aziz, dikhawatirkan ke depannya membuat peserta pilkada menghalalkan segala cara agar dapat menang di atas batas selisih suara yang ditentukan. Dengan demikian, kemenangannya tak dapat disengketakan.

"Kami mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu karena ini sangat genting dan memaksa, menyangkut demokrasi Indonesia ke depan," tutur Aziz.

Adapun tuntutan kedua adalah agar MK memprioritaskan judicial review UU Pilkada dan mencabut Pasal 158 sebelum meneruskan proses persidangan hasil perselisihan pilkada.

"Artinya, putusan sela harus di-pending sebelum ada keputusan judicial review yang mencakup Pasal 158," ujarnya.

Sementara tuntutan terakhir dalam petisi adalah mendesak DPR untuk segera melakukan revisi Undang-Undang Pilkada.

Namun, jika waktu tidak cukup, lanjut Aziz, MK sebagai mahkamah pengawal konstitusi harus berani mengabaikan Pasal 158 dalam memutus setiap persidangan sengketa hasil pilkada.

Dia berharap petisi rakyat tersebut akan ditandatangani oleh semua calon kepala daerah yang mengajukan sengketa ke MK. Para calon kepala daerah, menurut Aziz, mewakili suara mereka di pilkada serentak.

"Harapan kami petisi ini akan ditandatangani, mewakili 17 juta lebih. Karena setiap calon kepala daerah kalau diakumulasi suaranya di atas 10 juta," imbuh Aziz.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com